GRAND DESIGN : PELAJARAN BERPIKIR

Posted By on March 5, 2010

PENGADAAN “PELAJARAN BERPIKIR” SECARA LANGSUNG SEBAGAI SUBYEK KURIKULUM SEMUA SEKOLAH DI INDONESIA

Latar Sejarah

Thinking tradition (tradisi berpikir) sebagai proses dan produk pendidikan sangat memprihatinkan. Etos pikir sebagai wisdom of education (kearifan pendidikan) para pelaku pendidikan (baik subyek, obyek, maupun outputnya) sangat lemah. Faktanya, tidak sedikit penempuh pendidikan belum trampil berpikir dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Tidak sedikit yang menyelesaikan masalah dengan asal “ketuk palu”, sok kuasa, bahkan tawuran maupun tindak anarkis lainnya. Apalagi para penempuh pendidikan tingkat dasar menengah yang relatif “tidak bisa berpikir” ketika dihadapkan masalah non pelajaran di sekolah.

Salah satu penyebabnya, “berpikir” yang merupakan roh pendidikan tidak tersentuh sama sekali. Sebagaimana kritik Hutabarat dkk (Erlangga, 1999), “bahwa banyak di antara pelajar dan mahasiswa hanya dapat berpikir secara terpimpin, yaitu hanya sanggup menguasai/menghafal bahan-bahan kuliah dan diktat tanpa ada kemampuan berpikir secara kritis yang mutlak diperlukan dalam menuntut ilmu.”

Sehingga perlu upaya cerdas mereformasi makna dan substansi pendidikan yang telah ada. Perlu sosialisasi yang berkesinambungan bahwa berpikir merupakan proses utama dan inti dalam pendidikan.

Latar Pemikiran & Pengalaman

Mempelajari suatu pelajaran tertentu, tidak sama dengan belajar berpikir. Faktanya, mempelajari suatu pelajaran tertentu “hanya” belajar perihal pengetahuan, hal baru, ataupun masalah-masalah lain yang ada di seputar materi pelajarannya. Belajarnya (ataupun berpikirnya, bila ada) hanya untuk pelajaran itu sendiri. Hal ini tidak sama artinya dengan “belajar berpikir” secara langsung.

Sebaliknya, belajar berpikir secara langsung, obyeknya sangat luas. Tidak terbatasi oleh suatu disiplin pelajaran tertentu. Namun semua pelajaran bisa digunakan sebagai sarana lain belajar berpikir.

Contohnya pelajaran matematika. Belajar matematika tidak sama dengan belajar berpikir secara langsung, walaupun prakteknya banyak menggunakan analisis, sintesis, analogis maupun model pemikiran lain dalam menyelesaikan berbagai soal dan masalahnya. Tetapi matematika bisa digunakan sebagai salah satu “sarana kecil” dalam belajar berpikir.

Tujuan

Memberi bekal para siswa agar mempunyai ketrampilan berpikir.

Meningkatkan daya paham atas berbagai ilmu pelajaran yang diterima di sekolah.

Melatih trampil menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.

Membebaskan dari perangkap intelegensi.

Membekali siswa bertindak bijaksana sejak usia dini.

Yang Telah Menerapkan

Pada tahun 70-an, “Pelajaran Berpikir” diterapkan sebagai kurikulum langsung di berbagai negara maju. Ia dipakai oleh ribuan sekolah di Inggris, Irlandia, Canada, Australia, Selandia Baru, USA, Malta, dan Israel. Tahun 1979, “Menteri Pengembangan Intelegensi” Venezuela memasukkan pelajaran tersebut sebagai kurikulum di semua sekolah di negaranya.

Pelajaran Berpikir juga diakomodir oleh perusahaan-perusahaan terkenal semacam IBM, Shell, Unilever, ICI, Du Pont, maupun perusahaan dan organisasi besar lainnya.

Batasan Usia

Di negara-negara maju yang telah menerapkan, Pelajaran Berpikir mulai diterapkan pada anak usia 10 tahun hingga mahasiswa. Para eksekutif perusahaan terkemuka secara khusus mengadakan kursus pelajarannya. Dapat diterapkan pula pada mereka yang ber-IQ 75 hingga 150. Atau singkatnya, ia tidak mengenal batasan umur dan tingkat kecerdasan pembelajarnya.

Contoh Praktis

Contoh praktis ketrampilan berpikir yang dimiliki anak usia 10 tahun, adalah ketika mereka dimintai tanggapan atas permasalahan: “bagaimana tanggapan anda bila para murid yang sekolah itu diberi gaji”.

Hasil kerja pikiran trampilnya :

“Mengapa anak-anak harus memperoleh bayaran? Mereka mempelajari hal-hal yang akan berguna kelak bilamana mereka dewasa”.

“Dari mana uang itu diperoleh? Mungkin tidak cukup uang untuk membayar para guru. Mungkin tidak cukup uang untuk membangun perluasan sekolah. Lebih baik kalau uang itu dibelanjakan untuk keperluan lain”.

“Uang yang diperlukan itu mungkin berasal dari para pembayar pajak, dan pemerintah tidak bisa terus menerus menaikkan pajak. Gaji akan turun, dan hal tidak adil terhadap seseorang yang tidak mempunyai anak seorang pun”.

“Anak-anak tidak dapat menghargai uang, dan mereka akan membelanjakan uang itu untuk bersenang-senang”.

“Jika hanya beberapa sekolah yang mencobanya, maka sekolah-sekolah itu akan segera penuh sesak”.

Materi Ajar

– Definisi Berpikir (dijelaskan perbedaan definisi antara para siswa yang sedang diajar, mahasiswa, guru matematika, dan menurut Edward de Bono sebagai pencetus pelajaran berpikir).

– Berpikir sebagai suatu kecakapan.

° Intelegensi dan keturunan

° Intelegensi dan pendidikan

° Perangkap intelegensi

– Berpikir Lateral

– Sarana/alat Berpikir (minimal 10 macam)
PMI (Plus Minus Interesting)
AKP (Alternatif Kemungkinan Pilihan)
MSF (Memperhatikan Semua Faktor)
K & A (Konsekuensi dan Akibat)
ID-IL (Informasi dalam – Informasi Luar
MKP (Memperhatikan Kedua belah Pihak)
KKI (Kesepakatan Ketidaksepakatan Irrelefansi)
Gagasan-logika
POL (Pandangan orang Lain)
MTS (Maksud Tujuan Sasaran)

Sumber Ajar

Pelajaran Berpikir de Bono, Edward de Bono, Erlangga, 1988.

Berpikir Lateral, Edward de Bono, Erlangga, 1990.

Mengajar Berpikir, Edward de Bono, Erlangga, 1992.

New Thinking for The New Millennium, Edward de Bono, Elex Media Komputindo, 2000.

How to Have a Beautiful Mind, Edward de Bono, Kaifa, 2005.

Revolusi Berpikir, Edward de Bono, Kaifa, 2007.

 

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.