Adalah sarana/alat berpikir dg cara menggali dan mengeksplorasi seluas-luasnya nilai-nilai positif, nilai-nilai negatif, dan sisi menariknya, atas obyek masalah yg sedang dipikirkan.
Kebiasaan pikiran maupun budayanya, cenderung langsung mengambil nilai2 positifnya saja. Nilai negatif sebagai hal buruk langsung ditinggal begitu saja, bahkan dihindari. Apalagi nilai/sisi menariknya, tak pernah terbayangkan sama sekali.
Peribahasa kondang “anjing menggonggong kafilah berlalu” adalah salah satu wujud nyata belajar ikhlas dalam skala sangat kecil. Yaa…. skala yang sangat kecil. Sebab ada skala berjenjang yang lebih besar, yang tentunya lebih sangat berat dilakukan.
Peribahasa itu menggambarkan bila sedang beramal atau berbuat kebaikan, maka tidak perlu merespon atau menanggapi tudingan miring (cibiran, sinisan, prasangka negatif,…dst) dari manapun. Sebab faktanya, adaaa saja tudingan miring yang menghadang ketika berbuat kebaikan. Yang cari muka laah, pdkt laah, cari suara laah, biar dilihat atasan laah, …dst-dsb.
Kata perintah yang digunakan pada wasiat tersebut adalah : jangan. Kata ini jelas maknanya, yakni larangan. Larangan kepada semua umat manusia. Semuanya saja tanpa terkecuali, dilarang memperlakukan orang yang memberi ilmu, seperti halnya memperlakukan pada orang lain. Bahkan Nabi memerintahkan untuk berlaku secara khos. Hal demikian, bila dicermati secara mendalam dan dieksplorasi secara meluas, ada beberapa hal yang melatari dan mendasarinya.
Pertama, para gurulah yang telah mendidik manusia (yaa kita-kita ini) menjadi pribadi utuh seperti yang sekarang kita alami dan rasakan. Beliau-beliaulah yang telah mengajarkan berbagai pengetahuan dan pemahaman, juga berbagai macam ilmu. Hingga yang mampu mengantarkan pada derajad yakin dalam hal beragama.