BELAJAR MEMBIJAKI : SENANG vs SUSAH
Posted By Roni Djamaloeddin on October 10, 2023
Senang susah adalah situasi kondisi hati. Ia sekaligus ujian garapan hati, bukan garapan otak. Semua manusia pernah melewati dan merasakannya.
Karena wilayah hati, maka otak akal nalar tidak mampu mensolusikannya. Walaupun pikiran penalaran cerdas dikerahkan, tetap tidak mampu membijakinya.
Contoh, ketika sedang mendapat uang sangat² banyak, maka otak akal nalar tidak akan mampu membendung dari bangga senang, yang bahkan mabuk kepayang.
Pun sebaliknya, ketika terlanda kesusahan teramat berat, maka otak akal cerdas pun tidak sanggup menahan diri dari susah ngenes nelangsa.
Lantas, mengapa perlu membijaki?
Bukankah senang susah itu “gawan bayi” (sifat bawaan sejak lahir)?
Disitulah akar masalah yang tidak disadari manusia. Senang susah yang default sejak bayi itu sangat jauh dari bijak. Senang susah adalah watak sifat perbuatan nafsu. Nafsu buruk yang menjauhkan manusianya dari Tuhan. Bila tidak dijinakkan ditunggangi, justru menghalangi proses ilaihi rojiuna.
Sementara di lain pihak, bijak itu mengada disisi Dzat Yang Maha Bijak. Karenanya, untuk bisa mendekat dan bahkan menyatu dengan Dzat Yang Maha Bijak, maka manusianya mesti memproses diri menjadi bijak.
Sehingga implikasinya, bila senang susah tidak disikapi dengan bijak, maka akan menyengsarakan manusianya di kemudian hari. Sengsara menderita tak hingga abadan abada.
Fakta nyata yang meniscaya butuh belajar bijak adalah tidak adanya rasa tentram bahagia di dalam Tuhan ketika terlanda senang susah. Ayat : Alaa bidzikrillahi tathmainnul qulub (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram bahagia, QS.13:28), tidak akan pernah membumi dalam dada. Seolah hanya pepesan kosong tanpa realita, mengambang bagai angin lalu. Damai bahagia tidak pernah tercicipi dalam dada.
Lantas bagaimana langkah belajar membijaki senang susah?
Pengalaman meguru kami, pertama, mengenalkan hati pada tugas pokok fungsinya, yaitu bidzikkrilah. Ingat Tuhan. Tuhan dalam arti Dzat/Wujud/Wajah/Cahayanya. Bukan istilah sebutan namanya. Qurannya menyebut ilmu dzikir.
Bisa kenal dengan cara disekolahkan, digurukan. Sebagaimana otak yang bisa tahu ilmu nuklir (bisa memanfaat energi nuklir), yang mensyaratmutlakkan disekolahkan/digurukan.
Kedua, bila sudah kenal maka ditetapkan dipatenkan dalam hati. Diingat terus-menerus seiring dengan masuk keluarnya nafas. Mengitsbatkan Dzat sifat af’al Tuhan.
Dimana, proses mengajegnya dzikir ini mesti bebarengan dengan menafikan (melupakan) sifat pekerjaan hati yang negatif. Menghilangkan senang bangga marem susah nelangsa gela kecewa…dan sebangsanya.
Ketiga, proses menafi mengitsbat menuntut jihadul akbar. Yaitulah jihadunnafsi, perang melawan nafsunya sendiri. Perang terbesar yang tidak ada lagi perang melebihi besarnya, sekalipun itu perang dunia perang bintang perang nuklir.
Prakteknya adalah melawan mengendalikan senang susah, dengan mengajegkan hati mengingat ilmu dzikir. Saat menerima uang sangat banyak, mengerem mengendalikan mengalihkan rasa senang pada rasa dzikir.
Pun sebaliknya, saat mengalami penderitaan amat berat, mengalihkan rasa sakit susah ngenes gelo nelongso dengan rasa dzikir.
Disinilah pendidikan seumur hidup itu. Mendidik hatinya sendiri agar tidak hanyut larut dalam senang dan susah. Salah satu sub bagian yang diwasiatkan para sesepuh pinisepuh : urip iki uruk-uruk nasibe dewe-dewe (hidup ini ajar mengajari nasibnya sendiri-sendiri).
Inilah yang disebut belajar membijaki senang susah. Mengarahkan mengalihkan dengan belajar ajeg mengingat Dzat Yang Maha Bijak. Belajar nyemplung menyatu dalam Dzat Yang Maha Bijak. Belajar damai bahagia di dalam Tuhan.
Target sasaran belajarnya adalah itbak rasul (uswatun hasanah) sebagai pilot project untuk umat manusia yang diturunkan Tuhan di muka bumi. Belajar menuju tidak ada lagi senang bangga marem punya harta banyak sekelas kerajaan Sulaiman.
Juga tidak ada lagi susah ngenes gelo nelongso walau menderita susah setingkat Nabi Ayub. Senang susah gelo nelongso telah sirna (disirnakan/ditenggelamkan) dalam Dzat Yang Maha Bijak.
Yaah….namanya belajar, berhasil tidaknya sangat tergantung pada seberapa besar kerja keras ikhtiar hamba dan Kun Fayakun Tuhan. Namun bila tidak belajar, menjadi hil yang mustahal bisa membijaki senang susah.
___220923–belajar share pemahaman pengalaman dalam nderek Guru (Romo Kyai Tanjung).
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.