Meruncingkan Ide ”Deep Thinking”-nya Harun Yahya

Posted By on March 18, 2010

Berpikir Radikal Tentang Islam

BERPIKIR secara mendalam, menurut Harun Yahya, dianggap oleh kebanyakan orang sebagai sesuatu yang memberatkan. Karena beratnya, maka pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan filosof.

Sedangkan orang-orang yang tidak mau berpikir secara mendalam, hidupnya dalam kelalaian yang sangat. Tidak menghiraukan tujuan penciptaan dirinya maupun tidak menghiraukan kebenaran ajaran agama.

Penyebabnya, di antaranya karena kelumpuhan mental akibat mengikuti kebanyakan orang, kemalasan mental, adanya anggapan bahwa berpikir secara mendalam tidaklah baik, terlena oleh kehidupan sehari-hari dan melihat segala sesuatu dengan penglihatan biasa (sekadar melihat tanpa perenungan). Oleh karenanya Yahya lalu berkesimpulan, “Wajib atas manusia untuk menghilangkan segala penyebab yang menghalangi mereka dari berpikir”.

Hal-hal yang selayaknya dipikirkan secara mendalam adalah, segala sesuatu yang dijumpai maupun dialami sepanjang hari. Misalnya ketika bangun dari tidur, dapat digunakan berpikir secara mendalam, ternyata masih diberi kesempatan berbuat kebaikan. Andai harus mati, bagaimana mungkin sanggup mempertanggungjawabkan dosa di hadapan-Nya, sementara api neraka sebesar ujung jarum saja bisa menghanguskan dunia dan seisinya. Berpikir mendalam dapat pula dilakukan ketika menjumpai beberapa karakteristik tubuh yang beraneka, ketika melihat mobil jenazah yang melintas di jalan, ketika melihat kejahatan pembunuhan perampokan, ketika melihat terjadinya bencana alam, dan seterusnya. Secara jelas, terperinci, serta didukung fakta-fakta yang ada dan argumen yang rasional-ilmiah dapat disimak dalam bukunya “Deep Thinking : Bagaimana seorang Muslim berpikir”.

Ulasan buku tersebut, kiranya masih kurang mendalam dan perlu dilengkapi. Misalnya, perihal makna Islam itu sendiri yang artinya selamat. Selamat yang dimaksud yang bagaimana? menurut siapa? bagaimana kriterianya?

Sementara menurut sabda Nabi saw. bahwa dari sekian banyak golongan/aliran yang ada, hanya satu yang benar. Yang manakah gerangan ? Rasul saw. pun pernah bersabda, “Cukuplah kematian sebagai nasihat! (bagi umatku)”.

Islam “yang benar”

Semua umat Islam sependapat. bahwa Islam “yang benar” adalah yang mengikuti sunah Nabi saw. Sabda Nabi, alaikum bisunnati wasunnati khulafaurrasyidin al-mahdiyyin, kamu semua wajib mengikuti sunahku (Nabi saw.) dan sunahnya wakil-wakilku yang lurus yang al-mahdiyyin (istilah lainnya, Imam Mahdi). Nabi saw. menyebut sunahnya wakil-wakilku, itu artinya Nabi saw. memang membuat wakil-wakil yang lurus –tentu saja atas kehendak dan perintah Tuhan –yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan sempurna.

Dibuatnya wakil dalam rangka melanjutkan tugas dan cita-cita Nabi saw.

Karena, bagaimanapun yang namanya jasad pasti harus mati. Sedangkan tugas dari Tuhan (sebagai utusan, menyampaikan risalah dan kehendak-Nya), tidak boleh mati. Oleh karenanya, Nabi saw. menyebut wakil-wakil itu al-mahdiyyin, telah mendapat hidayah Tuhan. Mereka (para wakil Rasul saw.) pun ditetapkan, antara lain menerima karunia “ilmu pintunya mati”.

Memperkuat kedudukan wakil tersebut, Nabi saw. bersabda yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Al-Hakim dan Al-Dzahabi: “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu (Ya, Ali) adalah pintunya. Dan janganlah masuk kota kecuali dengan lewat pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci kamu (Ali), karena kamu adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari kamu, dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, ruhmu adalah ruhku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu, beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu; sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling darimu. Kamu dan para imam dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu (Nabi) Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam, sirna dan celaka. Kamu semua seperti bintang. Setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”.

Singkatnya, Islam yang benar adalah Islam yang di tengahnya ada wakilnya Nabi saw. Wakil yang pertama adalah Sayidina Ali bin Abu Thalib, kemudian dilanjutkan oleh para imam dari anak keturunan Ali sampai kiamat tiba. Keberadaan para wakil (para Imam) tersebut adalah bagaikan perahu Nabi Nuh yang menyelamatkan dari kehancuran (konon penghancurnya adalah Tuhan sendiri), karena merusak utusan-Nya.

Sedangkan unsur-unsur yang “seharusnya” diislamkan, menurut pandangan para wakil Nabi tersebut (pandangan tasawuf) meliputi : jasad (raga), hati, ruh dan rasa (unsur utama manusia). Sebagaimana perintah-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan” (Q.S. 2:208).

Islamnya jasad (raga), yaitu dengan menjalankan syariat yang telah dituntunkan Nabi saw. dan para wakil-wakilnya. Islamnya hati dengan menjalani tarekat, yaitu hati yang selalu menzikiri Dzat Tuhan. Bagaimana caranya berzikir, petunjuk-Nya “fasalu ahladzdzikkri inkuntum laa ta’lamuuna” (Q.S. 21:7), tanyakanlah kepada ahli zikir bila kamu tidak mengetahui bagaimana caranya berzikir. Ahli zikir tidak lain adalah Nabi saw. dan para wakil-wakilnya yang al-mahdiyyin.

Islamnya ruh adalah rasa hati yang mengintai-intai daya dan kekuatan Tuhan. “Perasaan” yang berusaha untuk menyadari dan meyakini bahwa yang mempunyai daya dan kekuatan adalah Tuhan sendiri. Seperti yang tersirat dalam QS. Al Kahfi 39 : “laa hawla quwwata illa billah”, tidak ada daya kekuatan kecuali datangnya dari Allah, milik Allah semata. Sedang pada diri hamba keberadaannya bagaikan buih di tengah samudera. Bisa bergerak ke sana kemari karena kekuatan ombak samuderanya, bukan karena kekuatan buih itu sendiri.

“Islamnya rasa” adalah “rasa” yang merasakan keberadaan Dzat Tuhan. Selain wujud Diri-Nya, dilatih untuk dirasa-rasakan tidak ada. Oleh karenanya, rasa yang sudah “masuk Islam” tidak mengenal lagi yang namanya pegel jibeg, susah bungah, kecewa bahagia, kedudukan, jabatan maupun harta berlimpah. Rasa berdunianya sudah tidak ada. Rasanya selalu menikmati indah dan nikmatnya menzikiri Dzat Tuhan Yang Maha Indah.

Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi saw. dan para wakil-wakilnya, di mana para Washitah (Washilah) seakan tidak mengenal lagi yang namanya kecewa, sengsara, pamrih, was-was dan sebagainya, walaupun dihujat, dilecehkan bahkan diancam dengan pedang menempel di leher. Tidak lagi terpengaruh oleh gemerlap dan hiruk pikuknya dunia. Walaupun kenyataannya secara lahir tetap sebagaimana lumrahnya manusia yang hidup di dunia (bekerja, berumah tangga, bermasyarakat, bernegara dan sebagainya). Yang membedakan cuma hati, ruh dan rasanya.

Sebagai penganutnya, dan yang mengharapkan abadan abada di sisi-Nya, seyogianya dapat berpikir secara radikal atas semua ayat-ayat-Nya. Baik yang tampak secara lahir maupun yang tampak secara batin. Selanjutnya njegur (memasuki dan menjalani isinya) secara total (kaffah) meliputi jasad, hati, ruh dan rasa(syirr), sebagaimana yang dilakukan dan dicontohkan oleh utusan-Nya. Serta, berani mereformasi secara total pemikiran maupun paradigma tentang Islam yang “sebenarnya”, sebagai jawaban : afalaa yatafakkaruuna, afalaa ya’qiluuna. Wallahu a’lamu bishshowab.***

Ket: Tulisan ini dimuat di SUPLEMEN PIKIRAN RAKYAT PADA Senin, 19 April 2004

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.