BIJAK MENGATASI MASALAH
Posted By Roni Djamaloeddin on July 24, 2010
Masalah, semua orang pasti mengalami. Baik yang skalanya ringan, sedang, maupun yang berat. Yang dimaksud masalah disini biasanya adalah perkara-perkara yang sifatnya tidak menyenangkan (menyusahkan).
Namun ada masalah lain yang sifatnya justru menyenangkan. Ini pun masalah juga. Banyak yang tidak menyadari kalau ia sebenarnya sangat berbahaya. Sama bahayanya dengan masalah yang tidak menyenangkan (menyusahkan).
Konkritnya, bila masalahnya menyusahkan, mayoritas hanyut dalam kesusahannya. Menggerutu, nelangsa, gak trimo, menyalahkan sana sini, mencari kambing hitam, menggumam diri (semisal, salah saya dimana sehingga saya ditimpa musibah seberat ini), dan lain sebagainya.
Tapi bila masalahnya menyenangkan, biasanya larut dalam kesenangannya. Sedikit yang mau bersyukur. Kebanyakan malah lupa diri. Atau bahkan lupa pada Sang pemberi kesenangan (Tuhan).
Penyikapan kedua masalah tersebut jauh dari praktik qonaah (nrimo ing pandum), lapang dada, dan bersyukur. Tampak sulit memadukan keduanya. Padahal sejatinya, kedua masalah tersebut sama dan sejajar dihadapan Tuhan. Bedanya hanya enak dan tidak enak.
Keduanya sama-sama menjadi kehendak-Nya. Diturunkan/diberikan pada hamba-Nya, dengan tujuan dan maksud tertentu. Ada skenario besar di balik penurunannya, yang biasanya hamba ini tidak mau ambil pusing menafakuri secara mendalam.
Spesifiknya, dibalik yang nampaknya menyenangkan, ada sesuatu yang melupakan (memperdaya). Dibalik menyenangkan ada jebakan mematikan. Nampaknya manis, tapi pahitnya nyethak (pahit sekali). Yaitu, manakala menikmati kesenangannya, menjadikan (penikmatnya) lupa diri. Lupa pada pemberinya. Lupa bersyukurnya. Sehingga berdampak murka Tuhan. Dan ini yang dikatakan amat sangat pahit.
Sebaliknya, di balik perkara/peristiwa yang pahit, sebenarnya ada sesuatu yang sangat besar. Di balik sulit-rekasa-menyusahkan, terdapat rahmat dan hidayah-Nya yang sangat besar. Karenanya tak dapat dinalar bila “dibalik topan beliung ada hujan dolarnya”.
Sehingga perlu digarisbawahi bahwa sesulit apapun masalahnya, pasti ada jalan keluarnya. Pasti ada kunci penyelesaiannya. Ia berbanding lurus dengan usaha, doa, dan kecerdasan bersyukur pada-Nya. Semakin kuat berusaha, berdoa dan bersyukurnya, maka semakin terbuka lebar pintu penyelesaian, yang sekaligus menjadi pintu beberapa rahmat-Nya.
Contoh sederhana adalah pengalaman yang dialami sahabat muda Nabi SAW. Suatu ketika waktunya dhuha, Nabi menjumpai para sahabat keluar dari masjid menuju tempat kerjanya masing-masing. Namun di dalamnya ada seorang pemuda yang termenung seorang diri merenungi nasibnya.
Kemudian Nabi bertanya “mengapa kamu termenung dan tafakkur seorang diri?” Pemuda itu menjawab “aku ditimpa rasa susah dan banyak utang wahai Rasulullah, oleh karena itu aku malu dan takut untuk keluar, waktunya membayar tapi tak punya apa-apa”.
Selanjutnya Nabi bersabda, kalau masalah itu yang kamu derita, bacalah doa “Allahumma inni a’udzubika minal hammi walhazani, wa a’udzubika minal ‘ajzi wal kasali, wa a’udzubika minal jubni wal bukhli, wa a’udzubika min ghalabatid daini waqahrir-rijali” pagi dan sore. Insya Allah bisa menghilangkan delapan penyakit yang menimpa dalam jiwamu.
Lalu doa tersebut dibaca oleh pemuda tadi pagi dan sore. Beberapa hari kemudian, ia menghadap Nabi SAW dan mengatakan bahwa ia sudah bebas dari utangnya. Hilanglah rasa susahnya. Serta dijauhkan dari penindasan orang-orang yang zalim.
Kisah sahabat Nabi tersebut dapat diambil beberapa hikmah bahwa; pertama, dalam suasana yang bagaimanapun, kita tidak boleh putus harapan dari rahmat Tuhan. Tetap bersyukur atas “nikmat sengsara” pemberian-Nya. Sebab, bila ditimpakan kesusahan kemudian nglokro putus asa, sama halnya dengan menjerumuskan diri dalam lain kafartum, yang diancam ‘adzabi lasyadiid.
Kedua, semua masalah pasti ada penyelesaiannya. Sebab, hakekatnya, ia datang dari Tuhan dan Dia pula yang akan menurunkan penyelesaiannya. Kita perlu (dan harus) berlatih optimis perihal ini pada-Nya.
Walaupun melatih optimis seperti itu sulitnya luar biasa, perlu berlatih keras ke arahnya. Sebab, yang namanya nafsu itu maunya selalu ragu-ragu atas “kemampuan” Tuhan. Nafsu juga tidak mau bila dilatih lapang dada, nrima, dan optimis menerima ketentuan-Nya. Namun bila ia dibelajari dan dilatih secara serius dan terus menerus, maka peluang qonaah (nafsu yang cerdas) menjadi terbuka.
Ketiga, suatu masalah yang nampaknya mustahil diselesaikan, dihadapan Tuhan adalah perkara mudah. Karenanya, menyerahkan sepenuhnya berbagai masalah pada-Nya adalah sebuah niscaya.
Keempat, berdoa secara khusyu’ pada-Nya. Sebagaimana ketentuan-Nya yang tegas menyatakan “berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan”. Dengan catatan, berdoa khusyu’nya dibarengi dengan berusaha (ikhtiar) menurut azas lumrahnya ikhtiar. Syukur dilakukan secara profesional. Dibarengi dengan tawakkal pada-Nya. Sumende pada kekuasaan-Nya. Menyerahkan sepenuhnya terkabul/tidaknya pada kuasa-Nya semata (bukannya mengagumi kehebatan diri).
Bilamana demikian, tentu, rahmat-Nya akan mengalir deras pada kita. Kedatangannya tak dapat disangka sebelumnya asal maupun volumenya.
Merupakan implikasi logis dari sebuah langkah salaka (berjalan) mendekat pada-Nya. Belajar menjadi insan yang bijak mengatasi masalah. Belajar menerima dengan ikhlas segala pandum dan coba-Nya, walau hanya satu jengkal. Disertai berlatih menafikan hasilnya, karena itu wilayah Kuasa-Nya. Semoga ikhtiar ini dinilai oleh-Nya. Amien.
pencarian:
,menghadapi masalah dengan bijakComments
One Response to “BIJAK MENGATASI MASALAH”
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.
sayangnya tidak semua orang mampu berpikir bijak cenderung bajak..
[Reply]