BIJAKSANA SEJATI?
Posted By Roni Djamaloeddin on July 10, 2020
Bisakah kita mengakui menyelami menyadari dan mempraktikkan ungkapan :
“Satu-satunya kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa Anda tidak mengetahui apa-apa”?
Bisakah logika merasionalkannya?
Monggo share pemahaman pengalaman dalam bersparing akal nalar memecah mencerah otaknya dunia.
—————————————————————-
Istilah “kebijaksanaan sejati”, adalah ekuivalen atau sebanding dengan Maha Bijaksana. Sebab bijaksana sejati itu bukan wilayahnya hamba, tapi wilayah Tuhan.
Karena wilayah Tuhan, maka yang mampu menjamahnya (menjelajah, menjangkau, menyelami) adalah manusia yang mampu mengeletkan (merekatkan) dirinya dengan Tuhan.
Sehingga karena kelet dengan-NYA, maka dengan sendirinya sadar bahwa Laa quwwata illa billah (Kahfi 39). Paham dan yaqin bahwa Yang Bisa, Yang paham, Yang memiliki, Yang punya ide gagasan pikiran, juga Yang Bijaksana hanyalah Tuhan sendiri.
Manusia tetaplah manusia. Khotho’ wa nisyan, tempatnya salah lupa. Yang sejatinya tidak bisa apa-apa. Juga tidak ada apa-apanya. Walaupun fakta riil memang bisa apa-apa. Tapi pengakuan hati nurani, roh, hingga rasa tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa.
Kalaulah bisa berlaku bijaksana, namun tidak dibarengi mengeletkan diri dengan Tuhan, maka bijaksananya adalah semu. Bijaksananya adalah nafsu. Karenanya tidak akan pernah mampu menjangkau dan menyelami “tidak mengetahui apa-apa”.
Nilai-nilai rasionalnya, instrumen yang mampu menjangkau bijaksana sejati, yang kemudian mengantarkan sadar ainul yaqin bila dirinya tidak mengetahui apa-apa, adalah ROH. Karenanya bukan wilayah otak akal nalar rasional.
Implikasinya, hanya roh yang telah cerdas, telah Islam (diislamkan) yang akan sadar seyakinnya bila dirinya tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa.
Sedang pengetahuan pemahaman dan peyakinan tidak tahu apa-apa ini adalah wahyu yang netes langsung dari langit. Namun sayangnya, wahyu tersebut diapresiasi dengan daya tangkap daya serap manusia yg berbeda.
Faktanya, ketika wahyu netes dari lisannya Rasul (Nabi Saw, misalnya), namun ditangkap manusia dg beraneka ragam daya tangkapnya. Ada yang sangat paham, setengah paham, tidak nyambung, bahkan tidak sedikit yang justru menolaknya.
Demikian juga zaman milenial, atau zaman kemahdian sekarang ini. Wahyu Tuhan selalu DIA curahkan di bumi, namun daya tangkap daya serap manusianya yg sangat beragam. Hingga buuuanyak yg menolak.
Jadi simpulnya, otak akal nalar memang seharusnya diberdayakan pandai cerdas. Syukur mampu mengimbangi “bang data”-nya mbah gogel.
Namun rohnya juga diberdayakan pandai dan cerdas. Aliasnya rohnya diislamkan. Yaitu dengan belajar keras untuk tidak ngaku. Tidak merasa punya apa-apa. Merasa tidak tahu apa-apa. Karena rasa hatinya sadar sekali bahwa Laa quwwata illa billah.
Sehingga kemudian dalam hati mampu berkata bahwa “kebijaksanaan sejati adalah ketika saya mampu meyakini dan merasakan bahwa saya tidak tahu apa-apa”.
Bilamana belum mampu, bersegera istigfar mohon ampun pasrah deple-deple pada Maha Kuasanya. Juga bersegera menuduh diri sendiri bila masih buuanyak khotho’ wa nisyannya, akeh sembrononya, kurang tumemennya, kurang lakon pitukonnya, kurang nyandarnya, sehingga berakibat masih kecil lemahnya maghfiroh serta ilmu wahyu-NYA yang diturunkan.
.

Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.