BUDI LUHUR vs AGAMA : UTAMA MANA?
Posted By Roni Djamaloeddin on June 27, 2022
Kebiasaan pikiran, bila dihadapkan dua pilihan berbeda, maka cenderung memilih salah satunya. Jarang berani mengkritisi akar masalahnya. Seolah “fobia” bila menolak atau memilih keduanya.
Demikian pula ketika dihadapkan pilihan lebih utama mana antara budi luhur dan agama, tidak berani kritis menghadapi pernyataannya. Mungkin merasa bersalah bila tidak memilih salah satunya.
Padahal pintu kritis selalu terbuka. Pintu salah juga selalu ada. Mungkin terlanjur sering tak berdaya menghadapi pertanyaan pilihan. Atau mungkin cenderung/terbiasa takluk menghadapi model pilihannya.
Sementara kalau berpikir kritis, out of the box, dan mencermati fakta nyata di lingkungan, maka lebih rasional bila memilih keduanya. Yaa berbudi luhur, yaa beragama (yang kaaffah tentunya). Mengapa tidak?
Budi luhur dalam rangka memenuhi prasarat beragama. Juga, beragama yang meniscaya (mengharuskan) tindak laku budi luhur. Maka jadilah hubungan timbal balik yang harmonis. Saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling menguatkan.
Namun bila mengambil pilihan budi luhur baru beragama, juga sah-sah saja. Sebab faktanya, tidak sedikit pelaku agama yang tidak berbudi luhur. Suka mengkafirkan, merasa sok suci, hingga tindak anarkis. Maka perlu berbudi luhur dulu baru beragama.
Sedang pilihan kebalikannya, beragama dulu baru berbudi luhur, juga sah-sah saja. Sebab, beragama itu mesti berlaku budi luhur. Ironi bila mengaku beragama tapi tidak berbudi luhur. Lucu sekali bila mengaku beragama tapi perilakunya anarkis.
Sementara fakta lain menyatakan, berbudi luhur tidak selalu mesti beragama. Ada yang berbudi luhur, tapi tidak beragama. Berbudi luhur tanpa atas nama agama. Karena jenuh bosan melihat beragama tapi tidak berbudi luhur.
Sedang fakta dalam beragama juga demikian. Mengaku beragama (dalam makna tidak rusak) ternyata malah suka merusak. Beragama tapi mengambil hak orang lain (semisal korupsi). Beragama tapi melakukan tindak asusila. Beragama tapi tidak berbudi luhur.
Nilai Rasional
Istilah budi luhur, ditinjau sisi latar rasional, muncul sesudah adanya agama. Sebab, sebelum turunnya agama (yang digelar pertama kali oleh Nabi Adam sebagai Rasul pertama), pekerjaan manusia adalah suka membuat kerusakan dan pertumpahan darah. Sebagaimana yang diprotes para malaikat ketika Tuhan hendak membuat Khalifah berjenis manusia. “Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah/Wakil/Rasul) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah” (QS.2:30).
Sehingga implikasinya, sebelum Adam diturunkan, tidak ada istilah budi luhur. Adanya hanya saling rusak, saling bunuh, saling menguasai. Juga adanya istilah “homo homini lupus est”. Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya.
Namun setelah agama diturunkan, maka barulah ada istilah budi luhur itu. Satu set dengan istilah lain : andap asor, lemah lembut, sopan santun, sejuk menyejukkan, al amin, sidiq, amanah, tabligh, fathonah, …dlsb. Itu semua merupakan seperangkat yang mesti dijalani dalam beragama, khususnya dimensi syareat (tata pranata lahiriah).
Beragama yang lebih ke dalam, yaitu dimensi tarekat. Adalah beragama wilayah hati (nurani). Yaitu hati yang “ndalan” (berjalan pada rilnya) menuju Tuhan. Hati yang telah digurukan (disekolahkan pada ahlinya), sehingga mengenal pasti Dzat Tuhan. Kemudian hati nuraninya ajeg/kontinyu mengingat-ingat Dzat Tuhannya dalam suasana apapun bagaimanapun, bersamaan dengan masuk dan keluarnya nafas. Bahkan belajar seperti yang diteladankan Rasul : tidurlah mataku tapi jangan tidur hatiku.
Hati yang beragama atau hati nurani yang tidak rusak adalah hati yang telah bebas merdeka dari penjajahan (pengaruh buruk) sanubari. Bebas dari iri dengki tersinggung marah emosi ngenes mutung frustasi …dlsb. (https://ronijamal.com/hati-yang-islam/)
Kemudian beragama lebih dalam lagi adalah beragama wilayah roh. Beragama dalam dimensi hakekat. Selengkapnya dapat disimak dicermati pada link : https://ronijamal.com/martabat-roh/
Contoh nyata roh yang telah beragama (roh yang tidak rusak) adalah tidak berani ngaku. Tidak berani ngrumangsani (merasai) milikku, ideku, punyaku, kuatku, …dst. Seperti ketika Nabi Saw dibawah todongan pedang menempel di leher. Tidak gupuh, tidak susah, tidak takut, tidak was-was, tidak gumun sama sekali, karena rohnya telah Beliau Islamkan. Roh Beliau telah diselamatkan, alias tidak rusak.
Jadi simpulnya, bila pemahaman beragama telah mencapai kaaffah (total menyeluruh), maka budi luhur otomatis katut dengan sendirinya.
Namun bila beragama tapi belum punya budi luhur, maka secara lemah lembut ditegaskan dalam hati : lakum dinukum waliyadin.
(https://ronijamal.com/lakum-dinukum/)
_____210622–belajar share pemahaman pengalaman dalam nderek Guru (Kyai Tanjung).
.

Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.