DIMANA POTENSI LOGISNYA?

Posted By on April 14, 2015

Dua ayat yang menampakkan potensi berlawanan, adalah QS. Ali Imran : 19 dan QS. Al Baqarah : 62).
1. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (QS Ali Imran 19).
2. “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al Baqarah: 62).

Dua ayat tersebut sekilas menampakkan berlawanan. Itu karena memaknainya secara sempit. Semisal “ad-din”, yang kebanyakan tafsir memaknainya dengan agama. Dalam kamus bahasa Arab (yang pernah saya dengar), “ad-din” itu maknanya al-khudu’ al-mutlak. Pasrah bongkokan (tunduk) secara mutlak. Sehingga bila dimaknai dengan kalimat ini, makna lengkapnya menjadi: “barang siapa yang pasrah bongkokan (tunduk secara mutlak) disisi/dihadapan Tuhan, yaitulah yang akan diselamatkan–oleh Tuhan sendiri”. Diselamatkan dunianya, juga diselamatkan akheratnya. Sehingga ada keserasian bila dikaitkan dengan ayat kedua.

Sedangkan ayat kedua–juga pertama, bahkan semuanya–pastinya pun berlaku abadi. Semenjak 1400 th lalu, detik sekarang, bahkan hingga kiyamat yang akan datang. Yang menampakkan seolah-olah “bias” atau bermakna semu atau bahkan tidak mampu menjelajah sama sekali maknanya sehingga dibaca “hanya Tuhan sendiri Yang Maha Tahu”, itu karena sempitnya pemahaman pada “al-Muthohharun“. Sebab telah dengan gamblang dijelaskan: laa yamassuhu illa al-Muthohharun (QS. Al Waqi’ah: 79). Tidak akan dapat menyentuh (mengerti, mengetahui, menjelajah, memahami) seluruh isi kandungan Al Quran, kecuali orang-orang yang disucikan (sendiri oleh-NYA).

Pasrah bongkokan bisa mungkin terjadi setelah ada pernyataan bersaksi.
Al khudu’ al mutlak ini contoh realnya spt ketika Ismail pasrah total ketika akan disembelih Nabi Ibrahim. Atau seperti ketika Raden Said pasrah total berguru pada Sunan Bonang, yang kemudian tunduk patuh disuruh jaga teken sampai kurang lebih 3 th lamanya (kisah Sunan Kalijogo).

Bersaksi itu sendiri, ideal/pastinya pun harus tahu yakin dengan apa yang disaksikan/dilihat. Menyatakan bersaksi tapi tidak tahu apa yang disaksikan, namanya saksi palsu. Terlebih pada Tuhan, bersaksinya atas Wujud Ada-Nya itu bersaksi yang sesungguhnya atau hanya kira-kira/duga-duga saja. Bersaksi (tahu secara pasti) mengada-Nya yang lebih dekat dari urat leher, bahkan lebih dekat dari nafasnya sendiri. Bersaksinya seperti ketika masih di alam arwah dulu. Saat Tuhan akan menurunkan anak-anak Adam ke muka bumi, Dia mengambil kesaksiannya hamba: alastu bi Rabbikum (bukankah Aku ini Tuhanmu?). Karena fitrah (arwah) manusia saat itu memang menyaksikan langsung Wujud-Nya, belum terbungkus blegernya raga (yang disempurnakan dengan pelengkapan roh dan nafsu yang 7 macam), maka berani berkata : qaalu balaa syahidna. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (QS.7:172).

Introspektifnya, apakah bersaksinya (pernyataan syahadat) pada-Nya sekarang, sama persis ketika masih di alam arwah dulu? Atau, adakah yang berani berkata saya bersaksi (menjadi saksi) pernikahan Bapak dan Ibu kandung saya sendiri?

Masing-masing dirilah yang tahu jawabnya. Masing-masing diri perlu dan harus (belajar) mengadili dirinya sendiri. Sudah benarkah saya ini? Sudah penerkah yang saya belajari selama ini? Sudah pahamkah saya akan arti kaaffah? Sudah luruskah yang saya yakini hingga jedug ajarannya Nabi Adam? dst-dsb.

Karena itulah, Al Quran merupakan pedoman umat sejagad. Namun, teramat sangat banyak rahasia yang disembunyikan Tuhan didalamnya. Sehingga akal pikir rasa-pangrasa tidak mampu menjamahnya. Rahasia-rahasia itu akan terjawab dengan sendirinya bila telah belajar pada “al-Muthahharun”, “an-Nadzir”, “Imamu Mubin”, “ahlu adz-Dzikr”, “al-Hadi”, “al-Wasilata”, dan masih banyak sekali ungkapan rahasia pethingan-Nya. Dengan sendirinya pula akan paham apa bagaimana itu tarekat (tiyang sepuh nyebutnya Thorikoh). Wasiat para pinisepuh dulu ngajilah “Quran Teles” sangat benar adanya.

Hingga karena itu, potensi logis ayat kedua di atas bila ditarik pada saat ini, bahkan hingga masa tak hingga nanti adalah bahwa siapapun kaumnya, apapun agamanya, ataupun mahzabnya, asalkan berimannya “Bener” menurut kriteria/ketentuan/kehendak-Nya, maka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Kata kunci iman ini yang perlu dipahami diyakini hingga tuntas kandas jablas.

Contoh sederhana Iman (percaya) pada dimensi otak/akal pikir (bukan wilayah hati), andai otak/akal pikiran diberi kabar bahwa ada kucing berkaki 20. Maka otak tidak akan langsung otomatis “beriman” begitu saja, sekalipun yang memberi kabar adalah ilmuwan hebat sekelas Einsten dkk, ataupun ulama hebat kelas wahid dunia. Namun bila instrumen otak (mata) benar-benar melihat sendiri wujud adanya kucing berkaki 20, barulah otak itu dikatakan beriman yang benar. Demikian halnya beriman pada Tuhan yang notabene masuk wilayah/dimensi hati nurani roh hingga rasa.

Simpulnya, kata kunci potensi logis menyatunya dua ayat yang nampak berlawanan di atas adalah ketika yu’minuna bi Al-Ghayb (Qs.2:3), beriman pada Al-Ghayb (Wujud Diri-Nya) telah sejalan dengan kehendak-Nya. Yaitu hatinurani roh hingga rasa sebagai instrumen beriman (percaya) telah mengerti/mengenal/tahu pasti atas Wujud yang diimani. Bukan beriman yang duga-duga kira-kira atau bahkan katanya-katanya dari para tokoh maupun nenek moyang. Beriman yang demikian karena telah digurukan secara pasti pada ahlinya buatan Tuhan sendiri : ahladz-Dzikr, al-Mundzir, an-Nadzir, al-Washilata, al-Muthohharun, …dst (banyak disembunyikan oleh-Nya dalam berbagai ayat-Nya). Yang mengadanya di atas bumi rantai berantai, gilir gumanti tidak pernah putus semenjak Nabi Adam hingga kiyamat nanti. Kemudian dibarengi dengan rasa hati yang al-khudu’ al-mutlak disisi-Nya. Merekalah yang menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran pada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Serta diselamatkan oleh-Nya di dua kampung sekaligus: kampung dunia dan kampung akherat.

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.