FENOMENA SITI JENAR
Posted By Roni Djamaloeddin on July 10, 2022
Ajaran Siti Jenar bagaikan sumber api abadi yang siap membakar siapapun yang menyinggungnya. Tak peduli golongan apapun manapun. Ilmuwan, peneliti, akademisi, ulama, kyai, santri, sufi, hingga santri abangan, tak luput membicarakannya.
Ratusan buku mencoba mengupas tuntas ajarannya sesuai pemikiran pemahaman pengalaman penulisnya. Demikian pula grup-grup fb, blok/web, aliran kebatinan, pengaku ahli waris, ataupun pengaku pewaris ilmu/ajarannya, tak pernah sepi membincangkannya.
Pada intinya, kesemua bahasannya memuat dua hal : setuju dan tidak setuju. Yang setuju, karena dirasa ajarannya pas. Sedang yang tidak setuju (menolak), karena menganggap ajaran sesat. Manunggaling kawulo Gusti diprasangka ajaran sesat. (Https://ronijamal.com/manunggaling-kawulo-gusti/)
Bagi saya pribadi, biarlah jutaan versi faham membicarakannya. Biarlah mereka “ngrasani” menurut pahamnya masing-masing. Saya tidak tertarik larut membicarakannya.
Hanya share pemahaman pengalaman yang telah saya peroleh dari berguru. Kebetulan ngelmu batinnya sama. Juga gurunya sama (dalam makna hakekat, Guru adalah Tuhan sendiri. Sehubung Tuhan tidak ngejawantah, maka membuat khalifah/wakil di bumi).
Petunjuk Guru, Siti Jenar awal ceritanya, rusaknya tidak karuan. Rajanya brandal rampok pembunuh residivis kecu pencuri pemabuk pemerkosa, ….dst.
Kemudian suatu ketika (atas kehendak Tuhan) dibuat sadar bahwa perbuatan itu semua dosa besar. Sadar sekali bila perbuatannya melanggar kehendak Tuhan. Kemudian taubat, menyesal sedalam-dalamnya. Taubatnya tidak melalui syareat yang benar, namun dengan tangis menyesal siang malam di pantai selatan.
Karena taubatnya hanya menangis getun yg sangat-sangat mendalam hingga sumsum tulang belakang. Bertahun-tahun Beliau lakukan, sehingga wujudnya berubah menjadi luur (cacing).
Kemudian pada saat yang sama, Sunan Bonang akan membaiat Sunan Kalijogo di tengah laut dengan menaiki perahu/sampan. Setibanya di laut, perahu bocor, kemudian menepi. Diambillah tanah pantai untuk menambal dinding yang bocor. Tanpa diketahui Beliau berdua, tanah tambalan perahu tadi “ketutan” luur (cacing) Siti Jenar.
Setelah perahu menengah, Sunan Bonang membaiat Sunan Kalijogo. Siti Jenar ikut mendengar apa yang dibisikkan Sunan Bonang. Beliau berdua langsung menyatakan ma’rifat (mati sak jeroning ngaurip). Menyatakan muutu qabla antamutu, dalam beberapa detik/menit.
Setelah tersadar kembali, Siti Jenar berkata : aku yoo krungu (saya juga mendengar). Sunan Bonang kaget, karena sejak awal memang hanya berdua.
Kemudian Beliau bertanya: sopo kowe, nek pancen menungso, wujudo (siapa kamu, kalau memang manusia, wujudlah).
Siti Jenar menjawab : pangestunipun. Dalam hitungan detik, Siti Jenar yang semula berwujud luur (cacing) langsung jenggeleg (secara tiba-tiba) wujud lumrah menjadi manusia seperti dulu.
Mencapai derajad ma’rifat itu, yang dirasa-rasa wujud dan ada, hanya Dzat Yang Maha Wujud. Wujud dunia seisinya, termasuk wujud dirinya, dalam perasaannya telah sirna. Telah nafi semua. Sirnanya aku dalam Yang Maha Aku. (https://ronijamal.com/marifat-itu/)
Namun karena memperoleh ilmu dengan tidak didasari syareat yang baku, Siti Jenar kemudian mengajarkan Ilmu Ma’rifat (Ilmu Syathoriyah, Ilmu Dzikir, ilmu Sangkan Paraning Dumadi) tanpa syareat yang benar pula.
Jadinya mengajarkan hakekat tanpa syareat.
Akhirnya banyak berseberangan dengan ajaran Sunan Bonang dan wali songo lainnya.
Kemudian Siti Jenar katimbalan (dipanggil) gurunya. Mendapat dawuh : kowe matio wae, tinimbang ngrusak tatanan syareat (kamu mati saja, dari pada merusak tatanan syareat).
Siti Jenar berucap : pangestunipun.
Menjalankan Dawuh Guru untuk mati. Maka matilah Beliau. Benar-benar mati yang sesungguhnya. Sama halnya ketika mendapat perintah : sholatlah. Maka langsung menjalankan sholat.
Setelah mati, kemudian Sunan Bonang melepaskan anjing, sambil berkata pada masyarakat luas bahwa Siti Jenar telah berubah menjadi anjing. Maka kemudian dibunuhlah anjing beneran tsb beramai-ramai oleh masyarakat.
Simpulnya, pemahaman perihal fenomena Siti Jenar, biarlah mengalir apa adanya. Yang membenarkan biarlah, yang menyalahkan juga biarlah (menjadi lakon baru keprihatinan kita). Kebenaran tetaplah milik Tuhan, AL Haq min Rabbika.
Perbedaan pemahaman tidak perlu dijadikan bahan olokan perdebatan, apalagi permusuhan. Namun dijadikan referensi yang bisa diambil hikmah dan nilai² rasionalnya. Ia akan selesai sendiri bila telah mampu menyelami ilmu kenabian kewalian, yang dalam al Quran disebut ilmu dzikir. (https://ronijamal.com/andai-mampu-menyelami/).
Masyarakat Jawa dulu menyebut ilmunya Satriyo Piningit (https://ronijamal.com/rasionalisasi-satriyo-piningit/). Dan sangat² kecil masyarakat dunia menyebut ilmu batinnya Imam Zaman, Imam Mahdi, Ratu Adil.
Terus sesatnya dimana?
Lebih baik bila tidak membahasnya (https://ronijamal.com/sesat-itu/).
Lebih bijak bila menyelami merasakan langsung ilmu kewaliannya.
———-090118__belajar share pemahaman pengalaman dalam nderek mbela nyandar Guru (Kyai Tanjung).
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.