GAGAL UNAS?
Posted By Roni Djamaloeddin on April 13, 2012
Gagal unas? Siapa takut? Mungkin begitu apresiasi mereka yang telah siap mental-spiritualnya. Begitu pun yang telah mapan kepribadian dan kejiwaannya. Atau dalam istilah yang lebih “khusyuk”, iman taqwanya telah istikomah dunia akhirat.
Karenanya menjadi tak gentar menghadapi unas. Apapun hasilnya unas nanti, tak begitu mengefek (tak berpengaruh) sama sekali. Sukses unas diterima. Gagal lulus pun dihadapi dengan lilo legowo.
Sayangnya, mental kepribadian yang demikian “sempurna” tersebut seolah “mustahil” dimiliki oleh mereka yang menghadapi unas. Jangankan pelaku utamanya, stake holder-nya pun kiranya jauh untuk dikatakan siap.
Pada dataran praktis, sukses sebuah unas, strategi menghadapinya, maupun berbagai tips cerdas mencapai kegemilangannya, telah banyak pembahas yang mencerahkannya. Hasilnya pun cukup bila dibilang sukses. Sebab digarap oleh mereka yang kompeten dibidangnya. Yang tentunya mensyaratkan berbagai macam “laku”. Seperti tersirat dalam tembang pucung “ngelmu iku kelakone kanthi laku“.
Namun yang sangat disayangkan, potensi yang gagal unas benar-benar terabaikan. Jangankan dipikirkan, dilihat saja tidak pernah. Bahkan dianggap sebagai “hantu” yang layak dimusnahkan. Karena itu benar-benar dijauhi dan dihindari.
Hal demikian tentunya jauh dikatakan bijak. Tidak imbang namanya. Berpikirnya hanya sebelah/sepihak. Sehingga ketika benar-benar jatuh pada sisi yang buruk, “gulung koming“, “babak belur”, bahkan nyaris mencopotkan iman. Karena tidak ada bekal mental, alternatif pemikiran, maupun langkah persiapan dari segala kemungkinannya.
Kiranya semua mengakui dan meyakini, tak seorang pun ingin yang namanya gagal. Apapun bentuk kegagalannya. Apalagi para siswa yang relatif labil pribadi-kejiwaannya, sangat-sangat tidak ingin yang namanya gagal unas.
Sehingga dalam kenyataannya, ketika gagal itu benar-benar menghampiri, yang ada hanyalah penyesalan, susah, nelangsa, dan lain seterusnya. Bahkan ada yang kelewat batas sampai meminum ramuan oplosan potas dan baygon. Ada pula yang menyalahkan sana, mengkritik sini, mencari dan menjadikan pihak lain “kambing hitam”.
Pada dataran filosofi, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Di kalangan “spiritual sufi”, gagal adalah cambuknya kesabaran. Merupakan pemacu semangat untuk terus belajar. Namun juga sekaligus sebagai pintunya kufur.
Karena itu perlu pemahaman–sekaligus pengelolaan–manajemen kegagalan yang baik. Gagal unas bukanlah gagalnya kehidupan. Gagal unas tidak sebanding nerakanya dunia. Gagal unas bukan pula sebagai pemutusnya masa depan dan harapan.
Sedikitnya ada enam hal yang perlu disiapkan dengan baik dalam menghadapi gagal unas. Pertama, gagal unas perlu dianggap sebagai sebuah siklus roda kehidupan yang berputar. Kadang di atas (sedang baik/mujur), kadang di bawah (apes/terpuruk). Siapapun pasti mengalami siklus yang demikian, walaupun dalam konteks yang berbeda. Karena itu perlu disikapi dengan bijak.
Kedua, gagal unas merupakan refleksi kemampuan dan penguasaan dalam mempelajari materi unas. Karena itu, datangnya kegagalan, diharapkan mampu membuka mata hati dan pemikiran untuk lebih meningkatkan instrospeksi diri dalam belajar. Perlu persiapan yang lebih baik dalam menghadapi segala medan pertempuran. Jangan sampai terperosok dua kali dalam kubang yang namanya kegagalan.
Ketiga, gagal unas sebagai pelatihan sabar dan ikhlas yang dicipta Sang Kuasa. Karenanya perlu memahami dan menyadari bahwa sabar dan ikhlas mustahil datang/bisa dengan sendirinya. Karena itu mutlak perlu pelatihan dan pembelajaran langsung, yang dilakukan sendiri oleh Yang Kuasa.
Keempat, gagal unas merupakan butiran kabar gembira yang turun dari langit. Karena dari langit, tentunya tak semua orang mampu/sanggup menangkap nilai dan hikmahnya yang sungguh sangat luar biasa. Kecuali hanya sedikit. Yaitu mereka “yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (QS.2:156). Mereka yang menyadari bahwa segala sesuatu itu adalah milik Tuhan, dan kepada-Nya pula semua akan kembali.
Kelima, gagal unas sifatnya hanya sementara. Masih bisa diperbaiki. Baik dalam bentuk ujian mengulang ataupun mengikuti Kejar Paket B/C. Yang seharusnya dikhawatirkan dan sangat harus dihindari adalah kegagalan yang sifatnya abadi. Yaitu kegagalan masuk ke akherat bertemu Yang Maha Abadi. Sebab ketika kegagalan ini terjadi, akan bernasib sama dengan iblis jin setan yang abadan abada di neraka. Karena itu, seharusnya pula pembelajaran tentang selamatnya perjalanan ke akherat diutamakan di atas segala-galanya.
Keenam, gagal unas dapat dijadikan sarana mengasah ketrampilan berpikir (Thinking Skill). Semisal mencermati secara teliti, mengeksplorasi pikiran secara lateral meluas, dan membahas tuntas melalui salah satu materi Thinking Skill: PMI (Plus Minus Interesting). Gagal unas pun dapat diambil nilai-nilai positifnya, nilai negatifnya, maupun sisi menariknya dari sebuah kegagalan.
Bilamana keenam manajemen kegagalan di atas dapat dipahami dengan baik, tentu menghadapi unas ibarat berjalan ke mall yang menyenangkan. Tidak merasakan beban sama sekali. Dilaksanakan dengan penuh percaya diri, dalam rangka menghadap Ilahi, walau hanya sepecak.
Pada sisi lain, gelar manusia bijaksana, manusia istikomah iman taqwanya, manusia yang “sempurna” mental dan kepribadiannya, akan tersandang dengan sendirinya. Pada gilirannya, mampu mengapresiasi secara cerdas sentilan alm. Gus Dur: gagal unas aja kok repot! Serta mampu menangkap berkah dari langit bak air surgawi yang menyejuk-damaikan hati. Menurut Anda?
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.