IMAN RETORIKA, IMAN REALITA
Posted By Roni Djamaloeddin on April 22, 2011
Iman, secara bahasa maknanya percaya. Yaitu percaya atas mengadanya suatu benda/zat, peristiwa, maupun adanya kekuatan tertentu di luar diri. Tumbuhnya rasa percaya ini disebabkan oleh 3 (tiga) hal. Karena berita (baik tulis maupun lisan), teori keilmuan, maupun pengalaman yang dialami/disaksikan secara langsung. Implikasi logis adanya iman ini, berpengaruh kuat terhadap sistem keyakinan (spiritual) seseorang.
Sayangnya, istilah iman (percaya) ini umumnya hanya dikaitkan dengan keberadaan Tuhan, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir—yang kemudian disebut rukun iman. Padahal mestinya (secara bahasa), ia dapat pula tertuju/mengarah kepada hal-hal lain. Misalnya iman pada isu, iman pada kekuatan japa mantra, percaya pada ramalan-ramalan, percaya pada suara/kekuatan gaib, percaya pada mimpi-mimpi dan lain sebagainya. Tapi nyatanya istilah (iman) ini terlanjur di-“booking” oleh Islam menjadi rukunnya (rukun iman).
Subyek (instrumen) yang melakukan “percaya” tersebut adalah hati (batin). Bukannya otak. Sebab, kedudukan hati (batin) adalah “raja”. Sang penguasa sekaligus pengambil keputusan. Ia akan mengambil keputusan—termasuk didalamnya percaya/tidak percaya terhadap sesuatu—dengan terlebih dahulu mendengar laporan (masukan) otak/akal pikiran.
Namun tidak jarang si raja (hati) ini mengambil jalan pintas. Membuat keputusan tanpa melibatkan masukan otak. Misalnya, pada saat emosi, marah, frustasi, “kedanan” (tergila-gila sesuatu), ataupun karena “taklid buta”. Pada saat yang demikian ini, hati tidak mau mendengar lagi masukan/nasehat akal pikirannya. Walaupun sebenarnya akal pikiran masih sangat normal untuk bekerja. Sehingga tugas utama akal pikiran sebagai “penasehat tunggal” raja, diberangus dan bahkan tidak berfungsi sama sekali.
Sedangkan otak sendiri, fungsi dan kedudukannya adalah sebagai maha patih (perdana menteri). Ia dapat pula disebut tangan kanan, penasehat agung, pembantu utama, maupun wakil tunggal. Tugas utamanya, melakukan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan, memberikan masukan-masukan yang hasilnya kemudian disampaikan kepada raja (hati). Tugas lainnya, mengkaji nilai-nilai Plus Minus Interesting (PMI)—salah satu materi/alat/sarana “pelajaran berpikir” nya Edward de Bono—atas keputusan yang akan diambil, melakukan kritik-sintesis-anilisis-analogis terhadap suatu masalah, mengembangkan alternatif-alternatif lain yang mungkin ada, mencermati apa yang ada (what is), menggali serta menemukan apa yang mungkin (what can be), merekonstruksi format/pola yang sudah ada, serta masih banyak tugas yang lain.
Dari kinerjanya, dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak pemikiran, kajian, dan pertimbangan yang digunakan, akan semakin baik kesimpulan yang dihasilkan. Dengan sendirinya pula, keputusan yang akan diambil oleh hati pun menjadi semakin baik (bijak). Demikian halnya tentang keputusan tentang berimannya, akan semakin dekat pada “kebenaran”. Sebab hakekat kebenaran adalah milik Tuhan, al-haq min Rabbika, bukan miliknya hamba.
Hakekat Iman
Al-Ghazali membedakan tingkatan iman menjadi 3 (tiga) macam. Imannya orang awam, imannya orang berilmu (mutakallimin), dan imannya orang yang paham betul (ma’rifat) kepada Tuhan (ma’rifat billah).
Pertama, imannya orang awam. Adalah keimanan yang dasarnya “hanya” percaya (tanpa ada pemikiran yang mendalam) atas berita yang diterima dari orang lain, baik yang sifatnya lisan maupun tulis. Iman pada tahap ini “belum” bisa membedakan apakah berita yang diterima itu benar atau tidak. Akal pikiran juga belum bisa mencerna dengan jernih, apakah ia bernuansa provokasi, realitas, atau malah menyesatkan.
Contoh sederhana terjadi pada anak kecil. Ketika diberitahu bahwa di dalam TV itu ada jin yang menggerakkan (apalagi yang memberi tahu adalah orang tuanya), maka tanpa berpikir panjang, si anak tersebut langsung percaya. Demikian halnya ketika diberitahu tentang keberadaan Tuhan yang jauh di “langit” sana, lengkap dengan berbagai versi cerita warisan nenek moyang, maka tanpa pikir langsung diterima sepenuhnya, tanpa upaya pemikiran kritis. Sehingga, iman pada tahapan ini bisa dikatagorikan “iman retorika”.
Kedua, imannya orang berilmu (mutakallimin). Iman pada tingkatan ini tidak lagi langsung percaya atas berita yang diterima, sebelum melakukan pemikiran mendalam lebih dahulu. Berita yang diterima, kemudian diteliti dan dikaji berdasar teori-teori keilmuan, maupun studi literatur sebelum memutuskan percaya tidaknya. Oleh karenanya, ketika diberitahu di dalam TV ada jin yang menggerakkan, maka tidak langsung percaya begitu saja. Pikirannya bekerja lebih dahulu secara maksimal. Melalui studi literatur dibuktikan bagaimana sifat-sifat jin itu. Dzat/wujudnya dan af’alnya (perbuatan) bagaimana. Kebiasaan-kebiasaannya juga bagaimana. Dikaji secara mendalam nilai-nilai logika-rasionalnya. Bila ternyata tidak sejalan dengan logika, maka berita tentang jin tersebut barulah ditolaknya. Begitu pula sebaliknya.
Demikian halnya ketika diberitahu bahwa di “langit” sana ada Tuhan (yang bersinggasana di Arsy), pikirannya juga tidak langsung menerima begitu saja. Dipikir secara mendalam lebih dahulu. Dikait-kaitkan dengan fakta penciptaan alam semesta, yang tidak mungkin ada dengan sendirinya (pasti ada yang telah menciptakannya). Dikaitkan pula dengan sifat wajib dan sifat mustahil-Nya yang 20 (dua puluh). Berusaha untuk menemukan titik-sinkron tentang keberadaan Diri-Nya yang lebih dekat dari pada urat lehernya sendiri (QS. 50:16). (Namun, sayang, upaya ini kandas. Akal pikiran tidak akan sanggup menjangkau kedekatan-Nya yang “menyatu” tersebut).
Ketiga, imannya orang-orang ma’rifat billah. Adalah keimanan yang dasarnya dengan pembuktian/penyaksian (syahadah) secara langsung. Iman pada dataran ini tidak lagi mengedepankan logika rasional sebagai satu-satunya sarana untuk mempercayai sesuatu. Tetapi mengandalkan penglihatan secara langsung (ma’rifat) atas wujud yang diimani/dipercayai. “Mata” (instrumen untuk melihat) bukan lagi mata kepala/lahiriah, melainkan mata hati/batin (rasa, sirr). Bukan berarti lantas meremehkan kedudukan akal-pikiran, namun tetap memfungsikannya sebagai penasehat agung, maha patih, maupun wakil tunggal yang dapat memperkokoh hati (keimanan). Oleh karenanya, ketika diberitahu bahwa yang menggerakkan TV itu adalah jin, maka langsung dibuktikan dengan melihat sendiri ke stasiun TV-nya, apakah memang benar jin yang menggerakkannya, ataukah karena kecanggihan teknologi.
Demikian pula berimannya kepada Tuhan, telah sampai pada maqam “hakkul-yakin”. Yakin yang seyakin-yakinnya atas Wujud/Dzat-Nya yang memang gaib, tetapi sangat dekat sekali. Hakkul-yakin pula bahwa Tuhan itu lebih dekat dari pada nafasnya sendiri. Sangat nikmat dan indah untuk diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati. Keyakinan seperti itu bisa dirasakan dan dinikmati dengan sesungguhnya, bukan sebatas teori dan retorika. Penyebabnya, karena telah membuktikan/menyaksikan sendiri Wujud/Dzat-Nya.
Pemikirannya pun kemudian sangat menyadari bahwa Tuhan yang namanya Allah, memperkenalkan diri dengan 99 asma lainnya (Asmaul Husna), dan disebut-sebut oleh hamba (manusia) dengan beribu-ribu nama lainnya, “pasti” ada Wujud/Dzat-nya. Ia bukan pada dataran nama/istilah/sebutan/panggilan, melainkan pada dataran Wujud/Dzat.
Pemikirannya juga menyadari bahwa instrumen untuk melihat (menyaksikan) Tuhan secara langsung itu adalah hati nurani, roh dan rasa (bukan wilayahnya otak dan akal pikiran). Akal pikiran akhirnya juga menyadari keterbatasan tugas dan fungsinya, walaupun kehebatannya dapat menciptakan galaksi lain ataupun tata surya tandingannya “Bima Sakti”, ia tidak akan pernah sanggup menjangkau wilayah kegaiban Tuhan.
Kemudian membenarkan bahwa yang berkewajiban mendzikiri-Nya setiap saat, seiring dengan keluar masuknya nafas adalah hati-nurani. Bukannya akal-pikiran. Membenarkan pula bahwa hanya dengan berdzikir kepada-Nya lah hati menjadi tentram (QS. 13:28). Ketenteraman rasa hatinya benar-benar telah dapat menikmati hikmah beriman yang sesungguhnya—yang bukan sekedar teori dan wacana. Sebab, berimannya dibarengi berdzikirnya telah sesuai/pas dengan kehendak-Nya.
Sayangnya, yang dapat mempraktekkan iman secara ma’rifat billah (iman realita) ini adalah para wali, nabi, rasul, dan para kekasih-Nya. Pengetahuan tentangnya diperoleh langsung dari Tuhan. Tentu saja, cara memperolehnya melalui kepanjangan/ kepercayaan/ wakil/ utusan/ rasul-Nya. Sebab, melalui firman-Nya, Dia sendiri tidak akan pernah menampakkan diri di muka bumi manusia (QS. 3:179)—untuk mulang wuruk (membelajari) manusia berjalan (salik) pulang kepada-Nya.
Dalam Al-Quran disebut dengan “ahli dzikir”. Hamba pilihan-Nya yang dibentuk dan dijadikan sendiri oleh-Nya, siang malam hati-nurani, roh, dan rasanya “maqam” (selalu bertempat tinggal) pada dzikir. Tidak pernah sedetikpun lupa dari dzikirnya. Sekalipun kepadanya ditimpakan bencana “mahadahsyat”, tetap istikomah dalam mendzikiri-Nya.
Kita pun mempunyai peluang yang sama untuk bisa mencapai imannya orang-orang ma’rifat billah ini. Asalkan mau mencari, menemukan, yang selanjutnya mau “berguru” kepada orang yang telah “dibuat” Tuhan sebagai ahli dzikir. Sudah barang tentu, harus dibarengi dengan semangat sami’na wa atho’na. Atau dalam bahasa sufinya, kal mayyiti baina yadi al-ghasili (berlaku bagaikan mayit yang pasrah bongkokan dihadapan yang memandikan/mensucikan). Meniru wataknya malaikat dalam memberlakukan diri patuh dan tunduk di hadapan khalifah-Nya.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.