KENAPA ADA PERTANGGUNGJAWABAN?
Posted By Roni Djamaloeddin on August 29, 2022
Analogi sederhana kenapa ada pertanggungjawaban, adalah seperti kita memberi perintah/tugas pada anak kita atau bawahan kita. Maka secara otomatis hati kecil kita menuntut laporan sederhana, atau tanggung jawabnya. Disamping untuk melihat kinerja yang ditugasi, juga melihat hasil garapannya, yang sejatinya kitalah pemilik atau pelaksananya.
Secara rasional, kenapa ada pertanggungjawaban, karena telah menyatakan sanggup menerima amanah. Andai tidak sanggup menerima amanah, tentu tidak ada pertanggungjawaban. Sebagaimana nasib langit bumi gunung, yang karena tidak sanggup menerima amanah, sehingga tidak ada pertanggungjawaban.
Manusia didamparkan di dunia sebagai wujud pertanggungjawaban menerima amanah. Istilah lainnya adalah wujud ujian. Diuji karena berlaku sombong menantang amanah. Padahal tidak ditawarkan kepada manusia. Sehingga turun vonis : dzaluman jahula.
Sebelum didamparkan dalam medan uji, terlebih dulu dimintai persaksian : alastu birabbikum (bukankah AKU ini Tuhanmu?). Dengan gagah perkasa semua fitrah manusia menjawab : qalu bala syahidna (betul wahai Tuhan, saya bersaksi bahwa Engkau Tuhan kami). Sekaligus dilengkapi ketentuan : rezeki, ajal, amal dan celaka/bahagiaannya.
Masalah lainnya, kenapa dimintai pertanggungjawaban, bukankah sudah ada ketentuan takdir baik buruk disisi Tuhan?
Takdir adalah wilayah Tuhan, bukan urusan manusia. Gak pantas manusia mencampuri wilayah Tuhan. Sedang wilayah manusia, adalah menggarap ujian sesuai petunjuk Tuhan. Bukan menggarap sak karepnya sendiri, semau gue. Petunjuk Tuhan yang digelar oleh Wakil/Rasul/Khalifah-NYA.
Sebagai sarana menggarap ujian, dilengkapi dengan otak, organ, indera, pemanis mahkota, perangkat lunak, dan perangkat keras lainnya (tangan, kaki, …dlsb). Sehingga karenanya, dengan akal nalarnya, manusia mestinya bisa berpikir baik buruk, rasional tidaknya, serta berbagai kemungkinannya.
Implikasinya, ujian ini mau digarap sesuai garis Tuhan, atau digarap dalam prasangka duga kira atau bahkan ngawur, adalah wilayah pilihan manusianya. Otaklah yang menjadi penimbang pemerhati pengkaji hingga pengambil kebijakan. Menjalani tupoksinya sebagai al mizan.
Juga pilihan mau beriman atau tidak, masuk wilayah manusianya. “Mau beriman, berimanlah. Mau kafir, kafirlah (Al Kahfi 29).
Karenanya, bertanggung jawab atas suatu garapan yang dihadapi dijalani, adalah kemestian. (https://ronijamal.com/mengapa-mesti-diuji/)
Apalagi garapan tersebut atas dasar kesanggupannya sendiri, sangat³ ironi bila lari dari pertanggungjawaban.
_____250822–belajar share dan olah nalar olah roh olah rasa dalam nderek Guru (Kyai Tanjung).
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.