KITAB TELES vs KITAB GARING
Posted By Roni Djamaloeddin on June 21, 2022
Banyak sekali varian makna perihal kitab teles maupun kitab garing. Hal demikian wajar sekali, karena beda pengalaman dan latar belakang yang mendefinisikan. Tidak perlu diperdebatkan, apalagi dijadikan klaim pembenaran sepihak.
Yang terpenting adalah belajar menyerap sari pati hikmah dari berbagai macam varian makna tersebut. Dijadikan alat/sarana belajar untuk tidak merasa benar atas pemahaman pengalaman yang dimiliki. Juga tidak menyalahkan yang beda pemahaman. Sebab bila merasa benar kemudian menyalahkan yang beda pemahaman pengalaman, sama halnya menyalahi ayat Al-Haq min Rabbika.
Naifnya, dari mana asal mula istilah tersebut, belum bisa diketahui secara pasti. Sementara yang dipahami diyakini, ia adalah warisan tutur tinular (lisan per lisan) dari mbah-mbah dulu. Dikemas cantik dalam sebuah nasihat : bila ngaji, ngajilah kitab teles, jangan hanya ngaji kitab garing.
Dalam versi lain : ngajilah Quran teles, bukan hanya ngaji Quran garing. Serta masih buanyak varian nasihat terkait dua kitab tersebut.
Namun makna versi pemahaman kami, dari pengalaman berguru spiritual pada Guru al-Wasilata (Guru al-Wustho, Guru Wasithoh), kitab garing adalah kitab yang tertulis. Kitab yang berupa tulisan (berupa buku).
Sedang kitab teles adalah kitab yang terlahir dari tutur kata secara langsung. Dawuh langsung atau cerita langsung al Muthohharun (manusia pilihan yang disucikan Tuhan sendiri).
Sebagaimana telah ditegaskan dalam Al Waqi’ah 79 : laa yamassuhu illa al Muthohharun. Tidak akan dapat menyentuh memahami kandungan makna yang ada didalamnya (Al Quran) kecuali orang yang disucikan Tuhan sendiri. (https://ronijamal.com/kitab-suci-dimana-sucinya/)
Contoh fakta nyata, bila ngaji kitab garing al Baqarah 1, maka di sana dimaknakan hanya Tuhan sendiri yang tahu maknanya.
Sementara bila ngaji kitab teles, ngaji langsung pada sosok al Muthohharun, maka uraian tutur maknanya bisa berhari-hari bahkan bertahun-tahun.
Misalnya makna aliflaammim. Alifnya menunjuk Wujud Ahadiyat. Yaitu Ada dan Wujud satu-satuNya Dzat Yang Mutlak WujudNya. Diri-Nya Dzat yang La yuhasafu wala yumasahu. Orang Jawa menyebut tan kinira kinaya ngapa. Sama sekali tidak bisa dibayangkan dan sama sekali juga tidak bisa digambarkan. Sama sekali juga tidak tersentuh, Maha Suci. Sama sekali tidak ada yang menyerupai dan sama sekali juga tidak ada yang menyamai. …dst-dsb.
Bila dibukukan bisa menjadi ratusan hingga ribuan juz.
Mengapa bisa demikian?
Karena tutur kata al Muthohharun hakekatnya adalah tutur lisan Tuhan sendiri. Karena Tuhan tidak akan ngejawantah (tidak menampak secara fisik mata) di muka bumi, maka Tuhan membuat wakil, jubir, corong dalam rangka melahirkan kehendak-NYA.
Jadi bukan lagi tutur kata manusianya. Bukan wilayah nafsu manusianya. Walaupun terlahir dari mulut/lisan manusia, namun hakekatnya adalah tutur lisan Tuhan sendiri.
Karenanya, inni ja’ilun filardhi Khalifah, makna praktisnya adalah bahwa mengadanya Khalifah/Wakil/Rasul Tuhan itu abadi sampai kiamat. Bukan berhenti sebagaimana yang diyakini banyak orang dengan mati/wafatnya sang Utusan yang diyakini.
Sebagaimana ditegaskan Imam Ali : undzur maa qola, wala tandzur man qola. Lihatlah apa yang dia katakan, jangan melihat siapa yang mengatakan (menyampaikan).
Bila dimaknai secara internal dan ditangkap secara mata batin, maka lihat cermati dengan arif bijaksana tutur kata itu. Adakah disana tutur kata Tuhan lewat manusia pilihan-Nya, ataukah tutur kata manusia yang dimotori nafsunya.
Dengan demikian simpulnya, memaknai kitab teles dan kitab garing adalah wilayah privasi masing-masing. Implikasinya, redaksi al Kafirun 4 secara lateral dapat dimaknakan : bagimu kitabmu, bagiku kitabku. Bagimu yakinmu, bagiku yakinku.
Andum gawe, mongso borongo.
_____160622–belajar share dan olah nalar olah roh olah rasa dalam nderek Guru (Romo Kyai Tanjung).
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.