LANGIT HIKMAH SUNAN BONANG
Posted By Roni Djamaloeddin on October 25, 2020
Syeh Makdum Ibrahim memvonis diri beliau sendiri belum (dikatakan) sholat, manakala saat sholat masih mendengar bonangnya (alat gamelan jawa) dibunyikan (ditabuh).
genahe: nek jik krungu suara, jik karan durung sholat..
(Jelasnya: kalau masih mendengar suara dari luar, maka Beliau sebut masih belum sholat).
………..haaa ?!!
Karena bonangnya itulah, beliau menyebut diri Sunan Bonang. Sederajat (dan serasa) dengan Sayidina Ali yang tidak merasa sakit ketika anak panah dicabut dari kaki beliau di saat sholat. Rasa hati Beliau-beliau itu telah maqam pada Dzikr (ashsholatu li dzikrii, sholat daimun), dengan bekal Ilmu Dzikir yg diturunkan dan dijaga sendiri oleh-Nya (QS15:9).
Hati nurani (bukan sanubari) bisa menjadi cerdas, karena diilmukan (digurukan). Sebagaimana otak menjadi cerdas karena dibelajari disekolahi dg disiplin ilmu-ilmu tertentu.
Para aulia juga demikian. Imam Ali juga demikian. Nabi SAW sendiri juga demikian, berguru pada malaikat Jibril (istilah silent pada Guru fisik Beliau). Para Nabi Rasul semuanya juga demikian.
Hal demikian merupakan bagian dari rahasia Tuhan dalam menurunkan dan menjaga sendiri Ilmu Dzikir (Ilmu rahasia-Nya). Sehingga melihatnya mata hati kepada Tuhan itu bukan duga-duga lagi. Pasti, karena telah tahu dengan pasti pula.
Kemudian karena saking “methenthengnya” (melototnya) li dzikkrii (dan kemudian mendapat pertolongan-Nya), sampai hilang segala pengakuannya. Rasa dunianya, rasa inderanya lebur dalam Indahnya Dzat Yang Maha Indah, yang sangat-sangat luar biasa.
Terus, dimana nilai-nilai logisnya, sehingga pas sholat tidak lagi mendengar suara dari luar?
Jasad yang sholat tapi hati angan-angan pikirannya kemana-mana, itu bisa terjadi karena si hati belum punya ilmu dzikir. Hati belum punya pusat konsentrasi. Sehingga pas sholat masih (dan pasti) teringat perkara-perkara dunia.
Pas sholat hatinya teringat hutangnya, pekerjaannya, hartanya, keluarganya, mobilnya, motornya yg belum lunas, dst-dsb. Sehingga ashsholatu lii dzikkri tdk bisa terealisir.
Karena itu ada ancaman khusus bagi yg melakukan sholat: fawailun lil mushollin. Maka neraka wail-lah (celakalah) bagi orang yg melakukan sholat.
Alladziinahum ‘ansholaatihim saahun. Yaitu mereka yg menjalalankan sholat, tapi sahun=lupa. Lupa bahwa ashsholatu lidzikkri. Lupa bahwa sholat adalah sarana mengingat-ingat Ingsun (Dzat yg mengenalkan diri dg asma/nama/istilah/sebutan sejumlah 99).
Memang sulitnya tak terkira lagi bagi kita hamba biasa. Bahkan kayak hil yg mustahal. Bagaikan kecebong nggayuh rembulan, mana mungkin terjadi??
Karena itu menuntut tumemen, sungguh², jihadulakbar, ngekehke (memperbanyak) rialat riyadoh mujahadah, ..dst.
Karena itu pula menuntut olehe ngrumangsani dadi kawulo sing ino nistho ora biso opo2, isone malah nambah dosa. Terus banter mepet marang Gusti, akeh nangis nelongso marang Dzat Yg tdk pernah apes.
Karena itu pula menuntut tumemen oleh tutwuri/itbak rasul: perkataannya, perbuatannya, ilmunya, amalnya, lahirnya, batinnya, yang kesemuanya dibarengi dengan hati yang nginjen-nginjen Wujud Kang Suwiji.
Belajar tapa sak tengahing praja, salah satunya. Juga belajar ndrenginging sak tengahing ngakak.
Walaupun lisannya tertawa ngakak, bersama/merukuni lingkungan/komunitasnya, tetapi hatinya belajar menangis ndrenginging mohon ampunan maring Gusti.
Sang Nabi pun ketika remaja, masa-masa berguru pd khalifah-Nya (= al wasilata = al wustho = ahladzdzikri = al muthohharun …dst) juga klengkengan belajar ngajekke dzikir, sebagaimana petunjuk Guru Beliau, seiring keluar masuknya nafas. Namun karena derajad Beliau yg Nabi-Nya, tentu belajar nggenturnya yg sangat luar biasa, sehingga berwasiat : tidurlah mataku tapi jangan tidur hatiku.
Cerita Sunan Bonang di atas bisa merupakan kesaktian. Sakti nyemplung ing Pengeran. Bisa pula sakti eksis di dalam Tuhan. Maksudnya sakti yg sak dermo (katut siliring qudrat). Sakti yg merefleksikan kesaktian kekuatan Tuhan.
Contoh lainnya, ketika Raden Mas Cokrojoyo (nama kecil Sunan Geseng) berniat meguru pada Sunan Kalijogo. Kemudian disuruh jaga teken yang dari bambu, karena Beliau harus pamit/matur Guru Beliau di Gujarat. Setelah beberapa tahun datang dari Gujarat, melihat si murid (RM Cokrojoyo) berada ditengah serumpun bambu yang sangat lebat, yang dulunya hanya sebuah teken.
Kemudian dibakarlah serumpun bambu tersebut. Maka otomatis pula terbakarlah RM Cokrojoyo. Namun nyatanya, hanya karena kekuasaan kekuatan Yang Maha Kuasa semata, hingga menjadikan Beliau tidak terbakar. Namun hanya gosong (hitam legam bagaikan arang). Hingga kemudian diberi gelar : Sunan Geseng.
Jadi, kekuataan kesaktian yang dimiliki waliyullah itu adalah kekuatan kesaktian yang katut siliriing qudrat. Yang bersangkutan sendiri merasa tidak bisa apa-apa. Tidak ada apa-apanya, hina, nista. Sebab Yang Kuat Yang Sakti, Yang Bisa, sejatinya hanya Tuhan sendiri. Bahkan hakekatnya Yang Wujud dan Yang Ada juga hanya Tuhan sendiri.
Demiian pula kesaktian yg dimiliki Nabi Musa membelah lautan, Nabi Isa menghidupkan burung dari tanah. Beliau² hanya sak dermo nglakoni. Sekedar menjalani perintah Guru Beliau. Karenanya, Yang Kuat Yang Sakti hakekatnya adalah Tuhan sendiri.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.