MEMBERI BEKAL SEKOLAH

Posted By on April 3, 2020

Teringat cerita perihal seorang ayah dalam memilihkan pendidikan anaknya. Sekedar berbagi, barangkali bisa dijadikan referensi ataupun menjadi pikukuh dalam membekali pendidikan anak-anak.

Kala itu, si anak telah menamatkan sekolah menengah pertamanya si pesantren. Kemudian si anak berkemauan melanjutkan di sekolah umum, di luar pesantren. Yaitu Sekolah Teknik Mesin (STM).

Keinginan itu dilatari ajakan teman-teman sebayanya di kampung. Juga saran nasehat pengalaman kakak angkatannya, bahwa setelah tamat STM bisa langsung cari kerja. Juga cerita pengalaman saudara-saudara yg telah sukses punya kedudukan mapan pada suatu perusahaan di kota besar.

Namun apa jawaban si ayah? Ternyata kehendak ayah bertolak belakang dengan minat si anak. Si ayah tidak rela sama sekali bila anaknya sekolah di STM. Ayah memerintahkan tetap melanjutkan ke SMA yang ada di pesantren seperti ketika SMP.

Bahkan memperingatkan, kalau tidak mau menurut perintah orang tuanya, disilahkan cari sekolah sendiri dan bayar-bayar sendiri. Ayah tidak mau membiayai sekolahnya bila tidak patuh nasehat orang tua. Ayah tidak tanggung jawab bila nekat mbegudul karepe dewe.

Lantas, dimana nilai-nilai rasionalnya atas sikap si ayah yang berkemauan keras agar si anak patuh bersekolah pada pilihan orang tuanya?
Bukankah hal demikian itu menandakan ayah yg otoriter?
Masih layakkah pendidikan otoriter di jaman demokrasi-globalisasi sekarang?

Memang, adakalanya pada sudut pandang tertentu otoriter itu rasional. Adakalanya pula bila demokrasi hak asasi memilih sekolah itu justru merusak menghancurkan “masa depan” (baca : akherat). Tergantung kecerdasan kebijakan kearifan dari balik sudut religi dan pengalaman.

Adapun alasan sekaligus kebijakan yang sekilas nampak otoriter si ayah pada anaknya tersebut, diantaranya :

  1. Daya pikir daya nalar anak-anak itu masih rendah. Belum mampu menjangkau masa depan yg sangat jaaauh akan arti sebuah pendidikan sekolah. Maka menjadi kewajiban orang tua untuk memilihkan membekali mengarahkan pendidikan anak-anaknya.
  2. Sekolah itu bukan untuk mendapatkan ijazah. Sekolah bukan modal mencari
    kerja. Tapi menjalani perintah tholabul ngilmi, walau sampai ke negeri China, sampai ke ujung jagad. Syukur bage menjangkau minal mahdi ilallahdi. Kalau di luar sana tujuan sasaran sekolah diindikasikan cari kerja, maka hal itu tidak berlaku untuk anak-anaknya.
  3. Memilihkan sekolah yang menyatu dan menggandengkan dunia akherat. Ad-dunya fii mazroatul akhiroh, bahwa dunia itu ladangnya akherat.
    Sebab lumrahnya sekolah itu memisahkan keduanya. Atau minim sekali pengetahuan pemahaman akherat.
  4. Anak adalah aset masa tak hingga (masa akhirat). Karenanya, memilihkan sekolah yang memahamkan perihal kewajiban anak terhadap orang tua yang sampai akherat. Sebab, ketika pemahaman anak tidak tuntas, justru akan mendatangkan azab bencana bagi orang tuanya.
  5. Dimanapun, orang tua itu kenyang asam garam kehidupan. Karenanya, memilihkan sekolah yang mengajarkan mendidikkan asam garam kehidupan kepada siswanya, adalah kemestian. Sekaligus yang mendidikkan mengalamkan ketrampilan pikir, ketrampilan fisik, juga ketrampilan hati.
  6. Monggoo….saran nasehat tutur bijaknya (walau hanya satu kata), dalam membantu memilih mencarikan sekolah para orang tua. Dan semoga pula tutur itu tervonis menjadi sebuah amal jariyah yg akan mengalirkan pahala abadi sampai akhirat kelak….ammin.

_____040519–sakdermo meresum pengalaman salah satu wali santri dalam nderek nyengkuyung mbelo dan nyandar Guru (Romo Kyai Tanjung).

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.