MEMBUMIKAN BELAJAR
Posted By Roni Djamaloeddin on April 9, 2010
Belajar, umumnya diasumsikan menjadi garapan para pelajar. Selain pelajar, seolah “tidak wajib” lagi untuk menggarapnya. Karenanya, komunitas non pelajar ini, kecil pedulinya terhadap belajar. Termasuk sebagian guru yang hanya mau belajar bila berhubungan dengan tugas di sekolah.
Implikasi logisnya, ketika tidak berada di bangku sekolah lagi, hampir pasti belajar tidak lagi dilakukan. Lebih memprihatinkan lagi, akhir-akhir ini belajar disamakan dengan serangkaian pelajaran di sekolah. Belajar identik dengan buku atau media pengajaran. Di luar media tersebut, tidak ada materi penting untuk dipelajari. Sehingga, kelulusan seolah identik dengan “tamat belajar”.
Belajar dalam pengertian luas (sejati), tidak ada lagi sekat-sekat yang membatasi. Tidak ada batasan ruang, waktu, substansi, apalagi media.
Pendek kata, belajar dalam universitas kehidupan.
Menyelami makna belajar dalam universitas kehidupan ini, yang penting dan mendesak untuk segera dikerjakan antara lain adalah belajar pandai bersyukur, belajar untuk selalu meningkatkan iman dan taqwa, dan belajar untuk pandai-pandai nggraita (koreksi-instropeksi) atas segala kekurangan dan kelemahan.
Singkatnya, belajar membudayakan diri untuk selalu belajar dan terus belajar. Membumikan belajar. Ia perlu dipatri dalam benak yang paling dalam. Utamanya belajar dalam segala hal bidang kehidupan. Belajar perlu dijadikan jargon baru dalam kehidupan.
Hal demikian ditekankan guna merealisasikan perintah Nabi SAW. Carilah ilmu semenjak ayunan hingga sampai liang lahat. Carilah ilmu walau sampai negeri cina atau bahkan penjuru dunia.
Lebih dari segalanya, belajar adalah wajib. Tholabul ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin. Karenanya menjadi berdosa bila meninggalkannya, atau meremehkannya. Karena hukumnya yang wajib, maka membumikan belajar merupakan sebuah niscaya. Menjadi tugas bersama antara individu (personal) dan orang tua.
Secara personal, setiap individu atau pribadi yang dewasa perlu menyadari dan mendalami dengan seksama. Belajar harus ditegakkan di atas segalanya. Walau sudah bekerja atau berumah tangga. Apalagi dalam usia-usia sekolah, belajar yang sungguh-sungguh adalah keharusan.
Demikian pula para pelajar tingkat dasar menengah yang bulan-bulan ini memasuki ujian akhir dan menanti kelulusan. Mereka perlu menyiapkan diri dan memancang fondasi keyakinan yang kokoh untuk harus tetap belajar. Banyak kesempatan dapat dimanfaatkan. Banyak jalur bisa ditempuh.
Andai jalur formal tidak memungkinkan, ada penghalang ketika hendak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, jalur belajar yang lain masih terbuka lebar. Di antaranya: jalur non formal, jalur informal, jalur otodidak, ataupun jalur lain yang masih banyak jenis dan ragamnya.
Dari lakon kelulusan ini pun, bila dicermati, terbuka pintu pembelajaran baru yang sangat-sangat berharga. Misalnya, belajar ikhlas (nrimo ing pandum). Yaitu belajar menerima kenyataan dengan ikhlas lapang dada terhadap apapun hasil kelulusan.
Lapang dada (ikhlas) menerima kenyataan memang perlu latihan. Ia tidak mungkin bisa diselami dan dipraktekkan tanpa ada materi, pelatihan, dan pembelajaran serius ke arahnya. Oleh karenanya, mumpung ada kesempatan yang baik, ada materi dan sarana pelatihannya, sangat sayang bila tidak dimanfaatkan dengan baik.
Di sisi lain, belajar merupakan bagian dari tabungan amal sholeh yang abadi di akherat. Unduh-unduhan-nya luar biasa banyaknya. Ibarat menabung seribu, tapi ngunduh-nya bisa bertrilyun-trilyun. Yaitu selama yang dibelajari, didalami, dan diamalkan, sepeninggalnya, dapat berguna bagi kemaslahatan umat.
Sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya: ”jika anak Adam mati, maka terputuslah semua amalannya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya” (HR. Muslim).
Selain secara personal, membumikan belajar juga merupakan tugas orang tua. Orang tua sangat berperan di dalamnya, khususnya dalam pemancangan fondasi yang kokoh terhadap pemahaman makna belajar. Sebab, bila fondasi pemahaman ini tidak kokoh, maka dimungkinkan niatan si anak untuk belajar sepanjang hayat bisa rontok di tengah jalan.
Hal ini harus dipikirkan secara mendalam. Sebab, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang meninggalkan anaknya menjadi orang bodoh, maka dia akan menanggung juga dosanya dihadapan Allah”.
Meninggalkan anak dalam keadaan bodoh, bisa bermakna tidak menghiraukan belajarnya atau pendidikannya. Atau berprinsip yang penting anak dapat kerja, cari uang, bisnis/usaha besar, punya kedudukan ataupun jabatan bergengsi. Tidak membekali dengan pemahaman yang kokoh bahwa hidup adalah belajar.
Mengingat pentingnya membumikan belajar, mumpung masih ada kesempatan, yang harus segera dilakukan adalah membumikan belajar dari diri sendiri. Bila diri telah melaksanakannya dengan baik, menjadi mudah bila menularkannya pada orang lain. Termasuk membelajarkan pada anak-anak. Sekaligus menabung ilmu yang bermanfaat untuk masa depan akherat.
Dengan harapan, niatan mulia ini mendapat limpahan syafaat rasul-Nya. Mendapat pemahaman yang utuh tentang hakekat dan makna belajar yang sejati. Serta dikuatkan menjalani, walau mampunya hanya setetes air (makna ilmu yang bermanfaat). Semoga.
Catatan:
Tulisan ini dimuat Radar Kediri pada Jumat 1 Mei 2009
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.