MEMBUMIKAN MUSYAWARAH
Posted By Roni Djamaloeddin on April 7, 2010
Sungguh memprihatinkan. Musyawarah mufakat yang menjadi budaya luhur warisan nenek moyang terancam hilang. Konon saking luhurnya, ia dijadikan fondasi keempat dasar negara kita, Republik Indonesia.
Faktanya, tidak sedikit para pemikir bangsa ini (para wakil rakyat)–baik yang berkedudukan di pusat, wilayah, maupun daerah–mulai menafikan, bahkan sering. Tidak jarang memilih adu jotos dalam menyelesaikan tugas yang harus dibahasnya. Atau dengan gagah perkasanya keluar sidang tanpa menyadari tanggungjawabnya sebagai “pemikir rakyat”. Demikian pula generasi intelektualnya (mahasiswa) yang gemar perang batu, ketika beda pendapat dari luar kelompoknya.
Lebih memprihatinkan lagi, musyawarah sebenarnya adalah perintah Tuhan (QS. 3:159). Perintah yang tidak dapat ditawar sedikitpun, oleh siapapun. Apakah wakil rakyat, pemimpin negara/organisasi, penguasa galaksi, ataukah rakyat jelata. Bila dilanggar, resiko dahsyatnya luar biasa. Api seujung jarum sanggup menghanguskan dunia seisinya (al-hadits).
Peristiwa yang sangat menyayat hati ini penyebabnya hanya satu. Tidak pernah berusaha untuk memahami dan menafakuri secara mendalam ada apa dengan musyawarah. Mengapa harus musyawarah? Dimana falsafah langitnya sehingga kita harus melakukan? Hikmah luar biasanya dimana? Dst, dsb.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tampaknya tidak pernah dibangun. Padahal seyogianya dilestarikan dalam benak yang paling dalam. Sebab, ia merupakan kunci sebuah hikmah. Sekaligus pintu utama tafakur secara mendalam dapat dilakukan.
Filosofi Melangit
Sementara itu, melalui berbagai perenungan, serta berbagai literatur lain yang dapat diserap sari patinya, dapat ditemukan sedikitnya enam alasan mengapa kita harus musyawarah. Pertama, pengakuan bahwa kebenaran adalah milik Tuhan. Al Haq min Rabbika. Kebenaran itu, bagaimanapun keadaannya, dari mana pun asalnya, tetap milik Tuhan. Tidak dapat diganggu gugat. Karena itu, perintah musyawarah adalah sebuah kebenaran Tuhan yang tidak dapat ditawar pula. Mau tidak mau itu harus dilakukan.
Kedua, merupakan medan jihadunnafsi. Sebuah sarana melawan nafsunya sendiri-sendiri. Nafsu yang berupa pengakuan merasa bisa, merasa berpengalaman, merasa sebagai tokoh-pimpinan, maupun merasa-merasa lainnya. Semuanya harus diperangi. Diperangi untuk bisa “sak derma nglakoni”, dalam rangka bebarengan mengangkat beban (masalah) secara bersama. Hal seperti ini butuh perjuangan yang sangat berat dan luar biasa. Jihadul akbar yang sesungguhnya.
Gambaran imajinatif yang paling mendekati sebuah jihadunnafsi yang berhasil adalah lila legawa-nya kelima jari tangan mengangkat sebuah beban. Masing-masing jari patuh dan tunduk diperintah bosnya. Tidak membantah, tidak ada res-res, semua lapang dada dan ikhlas memecahkan dan mengambil keputusan secara bersama.
Ketiga, bentuk latihan yang paling baik ngrumangsani al-faqir. Hamba ini al-faqir. Tidak bisa apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Bentuk latihannya, ketika melempar ide pemikiran pengalaman dalam sebuah musyawarah, dibarengi dengan perasaan “sak derma“. Sekedar menyampaikan ide pemikiran pengalaman. Dalam hati berkata: saya ini tidak bisa apa-apa, ya tidak ada apa-apanya. Walaupun tingkat pendidikan saya tinggi, pengalaman tak terhitung lagi banyaknya, tetap saja al-faqir. Tidak bisa apa-apa.
Sehingga implikasinya, ketika ide pemikiran yang dilempar tidak diterima forum, misalnya, tetap menjadikan lapang dada. Sadar sepenuhnya memang al-faqir yang tidak bisa apa-apa. Sadar sepenuhnya bahwa yang bisa hanya Dzat Yang Maha Bisa.
Keempat, menghasilkan keputusan yang benar-benar valid. Keputusan yang dihasilkan lebih dari satu pemikiran, yang tentunya didasari lebih banyak dasar-asumsi-pertimbangan, maupun sudut pandangnya, pasti lebih baik hasilnya dari pada keputusan yang diambil perseorangan. Maka tak salah bila dijadikan sebuah “hukum keputusan”: bahwa keputusan dari banyak pemikiran tentu lebik baik dari pada keputusan satu pemikiran.
Kelima, sarana menggapai kebersamaan, kekompakan, dan keadilan bersama. Karena itu, musyawarah dapat dianggap ruh dari sebuah kebersamaan dan kekompakan. Bila ia dijaga dengan baik, kebersamaan kekompakan akan tetap utuh. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Masing-masing merasa sebagai bagian dari tim. Masing-masing wajib menendang ide-ide cerdasnya.
Tidak ada unsur pemaksaan kehendak di dalamnya. Maka, tak ubahnya bagai bangunan maha-kokoh yang tak mempan rintangan, menggapai kemenangan. Sebaliknya, meninggalkan musyawarah sama artinya menghancurkan kebersamaan dan kekompakan itu sendiri.
Keenam, hemat energi dan minimal resiko. Energi yang dibutuhkan dalam musyawarah relatif sedikit dari pada energi yang digunakan bila memikirkan dan memecahkan masalah sendirian. Tak jauh beda dengan mengangkat sebuah beban. Bila suatu beban tidak dapat diangkat sendirian, maka menjadi ringan bila ia diangkat bersama-sama.
Disamping itu, resiko yang ditimbulkan dengan musyawarah hampir tidak ada. Justru malah menyehatkan pikiran dan menambah wawasan pengalaman baru. Tetapi dengan tanpa bermusyawarah, apalagi bila masalah yang harus diangkat terlalu berat, dan pikiran dipaksa untuk melakukannya sendiri, maka tidak menutup kemungkinan otak menjadi keseleo. Akibatnya pun bisa fatal. Kalau keseleonya otot lengan karena mengangkat beban berat, mudah diselesaikan dengan pijat. Tapi keseleonya otak pikiran, bisa membuka masalah-masalah baru yang lebih kompleks dan tentunya lebih sulit penyembuhannya.
Bila keenam teorema musyawarah tersebut dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, serta membumi dalam dada yang paling dalam, tentu, menjadikan pemaham-pengamalnya arif bijaksana. Jauh dari peradaban “perang batu” maupun “adu jotos” dalam musyawarah. Dan setingkat lebih mulia derajatnya di sisi Yang Kuasa. Semoga.
Catatan:
Tulisan ini dimuat harian Radar Kediri (Grup JAWA POS), kolom Mutiara Jumat pada tgl. 30-01-2009.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.