Memilih Pemikir Dan Pemimpin

Posted By on March 12, 2010

Ada pengalaman menarik pada pemilu legislatif 9 April lalu. Ketika antri menunggu panggilan, seorang teman yang selesai mencontreng menghampiri. Kemudian bertanya, “kamu mau pilih partai mana, atau caleg siapa?”

Setelah diskusi yang cukup, singkatnya, banyak persamaan dengan pilihan masing-masing. Tetapi tentang pilihan caleg DPD, ada perbedaan. Si teman menyarankan memilih X saja. Alasannya, beliaunya pernah silaturahmi di “kampus”. Juga tidak berseberangan dengan agama keyakinan, walau kurang mendukung.

Sejenak saya pikir, benar juga alasannya. Namun setelah saya amati nama-nama daftar calon legislatif kelompok tersebut (DPD Jawa Timur) yang terpampang di papan informasi, saran pilihan tersebut saya anggap kurang sreg.

Alasannya, bolehlah beliaunya silaturahim atau ”sowan” di kampus–memang ini tradisi politikus memohon restu. Boleh juga bila tidak berseberangan maupun tidak mendukung dengan aliran keyakinan–karena paham pluralisnya yang cukup mapan. Namun dua alasan tersebut saya anggap tidak cukup kuat untuk mewakili daerah (provinsi).

Terlebih daftar nama caleg tersebut menunjukkan figur asing yang sama sekali belum pernah saya dengar. Etos pikir dan etos kerjanya belum pernah terbaca. Labet (hasil nyata)-nya pun belum pernah saya lihat di sekitar masyarakat. Apalagi track record-nya, blas belum pernah tahu (mungkin karena saya yang katrok). Namun tiga alasan pemikiran yang saya pakai mungkin lebih menarik dan signifikan.

Pertama, untuk menjadi anggota legislatif (wakil rakyat), atau mudahnya menyebut dengan istilah pemikir rakyat, latar belakang pendidikanlah yang saya utamakan. Sebab, pendidikan yang ”sangat tinggi”, apalagi telah menyandang profesor, tentu mempunyai kredibilitas, kapabelitas, dan dedikasi yang tinggi pula dibanding modal pendidikan yang sedang (semisal sarjana).

Kedua, gelar H (syukur KH) di depan nama. Gelar ini tentu menandakan bila pemakainya lebih khusyuk imannya dan lebih lurus perilakunya dibanding yang non gelar. Walaupun gelar suci tersebut tidak menjamin penyandangnya ”jujur”, ”amanah” dan ”mukhlasin”, namun jelas menampakkan nilai lebih.

Ketiga, tidak membedakan relasi gender. Sebab pemikir itu tidak sama dengan pemimpin. Pemikir itu tugasnya berpikir. Salah satunya memikirkan nasib rakyat yang diwakilinya. Karenanya, baik laki-laki maupun perempuan sama saja. Mana yang kemampuan berpikirnya lebih baik, itulah yang saya anggap layak menjadi pemikirnya rakyat.

Ketiga alasan itulah yang saya gunakan untuk memilih caleg mewakili Jawa Timur di Senayan. Berseberangan pendapat dengan teman dan juga (mungkin) warga kampus. Dan ternyata, caleg yang saya pilih sebagaimana kriteria tersebut memperoleh suara terbanyak, bahkan fantastis. Prosentase suaranya lebih dari 200% dibanding caleg urutan kedua.

Kemudian menyikapi pilpres 8 Juli mendatang, ada jurus lain yang mungkin sangat ampuh. Tentu saja memilih pemimpin berbeda dengan memilih pemikir. Sebab, pemikir belum tentu pemimpin dan pemimpin belum tentu pemikir. Namun lebih afdhol bila pemimpin itu pemikir yang baik.

Ada 10 jurus memilih pemimpin yang saya tawarkan. Pertama, memiliki yoni (aura) kepemimpinan. Aura ini bisa dilihat dari pengalaman hidupnya semenjak kecil. Bisa memimpin kelompok-kelompok kecil disekitarnya. Bisa ngayomi dan ngayemi anggota. Adil, tidak berat sebelah, pribadi yang menyenangkan, menyejukkan, lapang dada, gampang nglenggono-nyegoro, mampu menempatkan diri ”ing ngarso-ing madyo-tut wuri”, dst-dsb. Singkatnya memang ada bakat jadi pemimpin.

Kedua, aura kepemimpinan tersebut telah teruji dalam sejarah. Telah terbukti dan bisa menjadi pemimpin yang baik dalam berbagai (lintas) organisasi. Baik organisasi sosial kemasyarakatan, hankam, pemerintahan, keagamaan, kepemudaan, dan lain semacamnya, sampai yang paling sederhana : organisasi rumah tangga. Semua kepemimpinannya menunjukkan prestasi baik.

Memimpin negara tidak sama dengan memimpin organisasi sosial. Pengalaman memimpin wilayah maupun memresideni partai, tentu jauh berbeda dengan memimpin negara. Jadi harus teruji dahulu kepemimpinannya dalam berbagai bidang yang multidimensi ragam dan jenisnya.

Ketiga, memenuhi perintah arrijaalu qawwamuuna ’alannisa’. Bahwa laki-laki itu pemimpinnya kaum perempuan. Selama masih ada laki-laki yang layak dan bisa memimpin, maka ”dosa” bila memilih perempuan sebagai pemimpinnya. (Tentunya hukum ini hanya berlaku bagi kaum yang meyakininya keberadaan perintah tersebut.)

Opsi ini sengaja saya letakkan nomor tiga. Sebab negara kita bukan negara agama. Juga bukan negara Islam. Melainkan negara hukum. Maka sepantasnyalah bila menggunakan hukum-hukum yang ada. Salah satunya hukum alam: ”siapa yang terbaik maka layak di depan (memimpin)”.

Keempat, latar belakang pendidikan yang baik. Punya aura pemimpin, pengalaman memimpin yang baik, apalagi ditunjang pendidikan yang tinggi, tentu lebih ”sempurna” kepemimpinannya.

Kelima, menjadi pemilih yang cerdas. Artinya menggunakan otak pikiran dengan jernih, sehat, dan cerdas dalam memilih. Bukan lagi atas dasar perasaan senasib sepenanggungan. Bukan berdasar banyaknya anggota (pemilih), tanpa melihat intelektualitasnya. Bukan pula berdasar trah (keturunan) sebagaimana jaman kerajaan dulu. Sebab, sekarang jamannya kompetensi dan profesionalisme. Mana yang lebih kompeten dan profesional itulah yang layak dipilih.

Keenam, seandainya kriteria pemimpin yang baik (sebagaimana terteori dalam buku, maupun wacana para ahli) tidak menampak disana, maka tinggal membanding-bandingkan ketiga pasang kandidatnya. Pilih saja pasangan mana yang paling layak memimpin negeri ini.

Ketujuh, hindari golput. Sebab, golongan ini mencerminkan pribadi yang tidak bertanggungjawab. Lari dari kenyataan sebagai anggota masyarakat. Mau bagaimanapun, kita yang ”bodho” ini pasti dipimpin oleh mereka yang layak jadi pemimpin. Maka memilih yang terbaik adalah sebuah niscaya.

Kedelapan, menempatkan pesta demokrasi ini menjadi medan latihan sabar, ndada, nglenggono. Artinya, seandainya ”jago” yang dipilih ternyata tidak jadi, hati dididik dan dilatih untuk nrimo. Menerima kenyataan bahwa peristiwa yang notabene besar menurut ukuran manusia adalah bagian kecil ketentuan-Nya.

Kesembilan, tidak perlu mengolok-olok apalagi ”ngajak perang” sedulur yang beda ”keyakinan”. Merealisasikan perintah lakum dinukum waliyadin dalam konteks lain: bagimu pilihanmu bagiku pilihanku.

Kesepuluh, tidak terlalu salah bila menafikan kendaraan politiknya. Tetapi mengutamakan pengendaranya. Toh pada dasarnya semua partai politik mempunyai visi misi yang baik. Sehingga perlu diwacanakan ”partai boleh beda, tapi presidennya tetap anak bangsa terbaik”.

Kesepuluh jurus memilih pemimpin tersebut memang tidak dijamin benar. Namun ada baiknya dicermati, dipilah, dan diperas sari pati kebenarannya. Tak jauh beda dengan sampah yang biasanya terbuang sia-sia. Namun sangat sedikit yang cermat bin bijak mampu memulung emasnya. Tentu saja harga diri, kecerdasan, dan kearifan taruhannya. Semoga.

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

One Response to “Memilih Pemikir Dan Pemimpin”

  1. ardian suryaji says:

    artikelnya bagus,kalau ada waktu mungkin ustad bisa menyempatkan diri untuk berbagi wawasan dengan ksp sma. baik artikel yang berjudul” belajar berkorban” “belajar bijaksana” ataupun “memilih pemikir dan pemimpin” kami tunggu….!

    [Reply]

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.