MEMULUNG KANCRITAN BIJAK MENIKAH
Posted By Roni Djamaloeddin on October 28, 2021
Secara umum, menikah ideal itu dilandasi beberapa fondasi dasar, diantaranya : seia sekata, materi cukup, umur cukup, mental spiritual siap, dan sepakat kedua walinya.
Walaupun terkadang ada beberapa kasus khusus yang menafikan fondasi dasarnya. Semisal : aturan adat, kecelakaan pergaulan, terseret arus budaya, terjerat tsunami media, keterpaksaan, dan lain sebagainya.
Namun demikian, kadang ada beberapa faktor yang kancrit (tertinggal, terlena, terlupa) menuju bijak menikah. Atau mungkin belum terpikirkan sama sekali. Sebab, yang dikata bijak (menikah) itu mengadanya hanya disisi Yang Maha Bijak. Bukan semata² bijak dihadapan manusia, hukum, nurani, atau panggilan kemanusiaan, walaupun ini juga diperlukan.
Beberapa hal yang biasa kancrit atau terlupa terlena dipersiapkan sebelum mengarungi bijak menikah, diantaranya :
Pertama, hendaknya takut bila setelah menikah nantinya melahirkan keturunan yang lemah. Lemah dimaksud adalah lemah visi misi hidupnya, lemah daya pikir daya nalarnya, lemah fisiknya, lemah ekonominya, lemah niat tekad ngumawulo (menghamba)-nya, dan lemah sejahtera.
Sebagaimana ayat : “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (keselamatan)nya” (QS.4:9).
Karenanya, perlu dipersiapkan secara matang dan diantisipasi secara menyeluruh berbagai kelemahan yang ada.
Kedua, memahami menyadari bahwa gen kromosan (bahkan sifat watak) kedua orang tua akan mengalir pada anaknya. Karenanya perlu membaca diri dengan seksama, dan mempersiapkan mental spiritual perihal watak diri. Juga serangkaian inovasi perbaikan yang kontinyu menuju kesempurnaan (disisi Dzat Yang Maha Sempurna).
Ketiga, menyiapkan jiwa mental spiritual bahwa proses mendidik anak sebagai implikasi logis pernikahan dimulai sejak dalam kandungan. Bahkan bisa jadi sejak pembuahan pertama. Minimal perilaku prihatin, memperbanyak riyalat, pengendalian dan perbaikan diri, maka secara otomatis akan mengalirkan ruh pendidikan pada jiwa anak.
Keempat, menikah yang harapan umumnya menuju mencapai sakinah mawaddah wa rohmah, dijerukan (ditinggikan) maknanya. Yaitu menyatunya visi misi kehidupannya dalam rangka mancat mulih ke akherat. Tentram bahagia dalam menikahnya dipancat dalam rangka menjemput hidup yang abadi.
(Http://ronijamal.com/menjemput-hidup-abadi/)
Kelima, menyiapkan jiwa mental bahwa aral melintang badai tornado pasti akan menghadang di tengah bahtera rumah tangga. Karenanya membekali diri dengan pemahaman mendalam dan sebisa mungkin menghindari keputusan cerai.
(Http://ronijamal.com/mengapa-ada-cerai/)
Keenam, selalu terbuka dan membuka diri bahwa bagaimanapun hebatnya koreksi intropeksi diri, tetaplah manusia yang dzoluman jahula dan khotho’ wanisyan. Karenanya belajar selalu deple-deple sumeleh pada Dzat Yang Sempurna segala-galanya.
Ketujuh, menghindari menyalahkan pasangan yang di depan mata tampak salah. Sebab merupakan sel-sel virus kecil yang pada saatnya bisa berubah menjadi besar. Namun membalik dan mengubah butir salah dengan mencermati menjlimeti dan mengatakan akulah yang salah. Aku harus cerdas mengatasinya.
Kedelapan, selalu terbuka membuka pintu pemahaman baru. Juga solusi baru. Sebab yang abadi di dunia adalah perubahan itu sendiri. Sedang abadinya akherat dapat dijangkau oleh jiwa yang belajar memaksa diri berlaku bijaksana, mencelupkan diri pada Dzat Yang Maha Bijaksana. Dalam mengarungi segala hal dalam berdunianya.
Kesembilan, ….open ended.
_____201021–sparing pemikiran pengalaman nikah dalam nderek Guru (Romo Kyai Tanjung).
.


Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.