MENIUP FILOSOFI KALAH — MENANG
Posted By Roni Djamaloeddin on February 17, 2020
Peribahasa kuno yang mengatakan “kalah jadi abu, menang jadi arang” kiranya perlu disuwuk dengan “roh” baru. Perlu direkonstruksi secara mendasar. Sebab peribahasa itu seolah hanya menegaskan baik yang kalah ataupun yang menang sama-sama merugi.
Latar pikirnya, tanpa ditiup dg roh (vIsi misi, semangat, harapan) baru yang lebih bermakna, maka pikiran penalaran era mendatang akan terjebak pada definisi masa lalu. Sehingga hanya berkutat pada ketiadamanfaatan belaka. Atau bahkan terjebak dalam situasi kritis kronis, yang kalah ngamuk yang menang pesta pora.
Diantara rekonstruksinya, semisal : “kalah untung, menang pun untung”. Atau “kalah menang sama-sama beruntung.”
Harapannya, baik yang kalah maupun yang menang sama-sama mampu mengambil saripati hikmah kebaikannya.
Persis dengan hadits yang menyatakan “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat bagi kalian”. Beda pandangan beda pendapat adalah rohmat bagi yg mampu menangkap nilai perbedaannya.
Namun bagi yang tidak bisa mengambil rohmat kebaikannya, maka akan tergilas oleh roda permusuhan, bencana, atau bahkan azab.
Demikian halnya situasi kalang menang dalam suatu persaingan perselisihan pemilihan dan sejenisnya, baik yang kalah maupun menang mestinya sama-sama bisa meraih keuntungan. Bukannya hanyut dalam perselisihan permusuhan penyalahan yang ujung-ujungnya melemahkan keimanan.
Dengan catatan :
- Bisa menerima dengan legowo lapang dada atas kemenangan atau kekalahan yg pasti terjadi. Yang menang tidak bangga marem dengan kemenangannya, yang kalah tidak susah ngenes nelangsa atas kekalahannya.
- Menyadari bahwa kalah menang adalah bagian kecil suratan takdir. Karenanya belajar menerima dg ikhlas perihal ayat “manusia berusaha, Tuhan yang menentukan segalanya”.
- Memahami kawulo itu betapapun hebat-kuat-saktinya, tetaplah kawulo. Bukanlah Tuhan Yang Kuasa segalanya. Sehingga ketika kalah, merasa syukur telah diingatkan atas apes hina nista khotho’ wa nisyannya. Dan ketika menang disyukuri mendalam bahwa semua atas Kuasanya semata. Silem dalam lautan makna : Laahaula walaa quwwata illa billah.
- Kalah menang makin mengokohkan keimanan. Tapi bila ternyata makin menjauhkan keimanan, makin memupuk ego emosi sirik iri dengki, segera disadari masih kurangnya lakon pitukon. Masih tipisnya iman taqwa yg selama ini diyakini. Masih butuh gemblengan-gemblengan baru dari Yang Maha Kuasa.
- Pancang dg kokoh dalam bumi (dada), bahwa menang kalah adalah lumrah. Sebagaimana lumrahnya lapar kenyang. Selanjutnya pancang paku bumi dengan “ilmu dzikir” bahwa segala efek lanjut dari kalah menang harus sirna dari dada yang paling dalam.
Karenanya tidak susah nelangsa ketika kalah, dan tidak bangga marem senang ketika menang. Isi buminya kemudian damai sejuk indah dalam sibghotallah (celupan Tuhan). Itulah butir-butir Baldatun Thoyibatun yang harus diperjuangkan semua umat manusia. Semoga.
_____180419–refleksi jiwa yang merana pasca pemilu 2019, sambil belajar istikomah dalam nderek nyengkuyung mbelo dan nyandar Guru (Kyai Tanjung).
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.