MENJADI IKAN

Posted By on November 30, 2011

Ada hal yang cukup menarik pada acara talk show motivasi tayangan Metrotv beberapa hari lalu. Selain materi yang cukup menarik, audiennya pun sangat “khusyuk” mendengar. Terlebih nara sumbernya yang motivator kelas nasional.

Catatan menariknya adalah pada bahasan “ikan”. Sang motivator pun menyampaikan poling untuk dipilih audien. Pertanyaannya, pilih mana menjadi ikan besar di kolam kecil atau menjadi ikan kecil di kolam besar.

Sambil menunggu hasil poling, motivator mewawancarai beberapa peserta. Jawaban peserta pun cukup beragam, yang tentunya didasari dengan argumen, pengalaman, dan keyakinan masing-masing.

Ulasan yang disampaikan pada masing-masing audien pun cukup bijak. Kedua pertanyaan tersebut adalah benar semua. Menjadi ikan kecil di kolam besar dan menjadi ikan besar di kolam kecil adalah sama benarnya.

Yang membedakan adalah waktunya. Kapan harus menjadi ikan kecil, dan kapan harus menjadi ikan besar. Ada saat dan waktunya masing-masing.

Ketika masih menjadi ikan kecil di kolam besar, maka harus banyak belajar dari lingkungan luasnya. Perlu pandai-pandai mengambil hikmah dari sesamanya. Perlu banyak belajar kebaikan dan kebijaksanaan dari ikan-ikan yang telah besar. Menghindari dan membuang jauh keburukan, kelemahan, dan kesalahan yang ada pada mereka.

Dilain pihak, kebaikan apa pun yang diperbuat ikan kecil, tidak tampak berarti pada lingkungannya. Di hadapan ikan besar pun kiranya tak ada artinya. Demikian pula ketika tanpa sengaja membuat kesalahan pada sistem dan lingkungan, tak akan kentara sama sekali. Masyarakat luar pun tidak begitu mempedulikannya.

Karenanya, perlu membekali diri berbagai pengetahuan dan pengalaman dari sesamanya, yang sekaligus pendahulu/seniornya. Sebab, pada saatnya nanti pasti tumbuh besar dan menjadi “penguasa” baru pada kolam tertentu.

Seiring dengan bertambahnya waktu, usia, dan pengalaman, dan tentunya telah menjadi ikan besar, maka seyogianyalah meninggalkan komunitas lama yang telah membesarkan. “Hijrah” menuju kolam kecil yang masih alami dan perlu banyak uluran pengalaman.

Maka, menjadilah ikan besar di kolam kecil. Menjadi “pemimpin” baru di wilayah baru. Selanjutnya memperluas wilayah kolamnya. Besarkan kolamnya. Membuka lapangan kerja baru. Mengembangkan jaringan kerja sama dengan kolam-kolam lain. Jadikan sebagai arena “fastabikul khairat”, sarana berlomba-lomba dalam kebaikan.

Ditinjau dari sisi manfaat, menjadi ikan besar di kolam kecil maupun menjadi ikan kecil di kolam besar tidak begitu signifikan bedanya. Mana yang kebermanfaatannya lebih besar, itulah yang lebih baik. Dan itu layak dilaksanakan.

Tidak lagi tergantung siapa dirinya, dan dimana wilayah kerjanya. Sehingga sangat memungkinkan terjadi lintas komunitas. Tidak lagi terpaku oleh pakem “struktural” maupun pola “biasane”.

Kedua pokok masalah “menjadi ikan” di atas, bila dikorelasikan dengan ajaran “sufisme” dunia keikanan, sungguh jauh berbeda. Akal pikiran ikan jauh lebih “mbeneh” bila dibanding akal pikiran manusia, yang notabene adalah makhluk paling sempurna.

Ikan yang hidupnya di air, ternyata sudah tidak butuh air lagi. Hidup di air adalah untuk mencari makan. Menjalani kudratnya sebagai makhluk yang berspesies ikan. Mengikuti alur rantai makanan, baik yang memakan ataupun dimakan.

Berbeda sekali dengan kehidupan manusia. Hidup di dunianya ternyata (mayoritas) untuk mencari dunia. Hidupnya untuk mencari harta, kedudukan, kehormatan, pangkat/jabatan, mencari gengsi harga diri, mencari pengakuan atas sesamanya, dst-dsb.

Singkatnya, hidup di dunia untuk memburu dunia. Sampai-sampai tergila-gila padanya. Bahkan saking “kedanan” pada dunia, tanpa menyadari telah terpikat olehnya. Terbuai, terjebak, terpedaya, terpesona, dan termakan dunia. Bahkan terbutakan, terbisukan, tertulikan, dan termatikan rasa-pangrasa olehnya.

Mestinya, sebagaimana mbeneh-nya ikan (hidup di air bukan mencari air), hidup di dunia adalah untuk mencari Pemilik dunia. Mencarinya hingga haqqul yaqin, mengenal secara pasti Wujud-Nya. Bukan lagi sebatas mengenal asmaul husna-Nya. Bukan lagi sebatas dongeng warisan, cerita nenek moyang, apalagi sekedar retorika belaka. Melainkan ma’rifatun lii-Dzatillah. Bertemu (mengenal) secara pasti Dzat-Nya. Ibarat Tarzan yang terdampar di hutan, maka seluruh hidupnya untuk mencari hingga bertemu (ma’rifat) pada kedua ortunya.

Setelah kenal secara pasti (dengan terlebih dulu ditanyakan pada yang ahli tentang-Nya), kemudian dituju keberadaan-Nya. Meng-Isra’ Mi’raj-kan diri pada-Nya. Tut wuri dan napak tilas jejak rasul-Nya. Menjihadi nafsunya hingga patuh tunduk bagaikan mayat (kalmayyiti) dihadapan yang mensucikannya.

Terlebih dari itu, dalam setiap sendi kehidupan ikan, semua gerak-gerik dan nafasnya, kehidupan ikan pun jauh lebih mulia dan jauh lebih beradab-bermartabat dibanding kehidupan manusia. Ini terbukti dengan istikomahnya dalam ber-subhaanaka (QS. Al Anbiya 79). Tiap detik, tiap saat, dalam keadaan apapun bagaimanapun tidak pernah lengah bertasbih me-Mahasucikan Diri-Nya.

Jauh sekali dengan kehidupan nyatanya manusia. Selalu membuat kerusakan (baik darat laut udara), tidak butuh mengenali pasti Dzat-Nya (yang notabene lebih dekat Diri-Nya dibanding dengan nafasnya sendiri), wataknya melebihi batas, memandang dirinya cukup pintar-cerdas sehingga merasa tidak perlu ada rasul-Nya ditengah-tengah umat manusia. Diberitahu malah membantah, menyalahkan, dan salah paham. Dst-dsb.

Karena itu, dalam menapaki sisa hidup yang hanya “mampir ngombe”, rugi besar kiranya bila tidak belajar (meminum) hikmah dari kehidupan ikan. Dicipta Tuhan memang untuk melengkapi kebutuhan manusia. Baik yang langsung untuk dimakan, maupun merenunginya secara mendalam dibalik misteri kehidupannya. Semoga.

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.