MERAIH HIDUP BERMAKNA

Posted By on April 16, 2011

Hampir bisa dipastikan, cita-cita dan tujuan hidup seseorang dipengaruhi oleh orang tuanya. Orang-orang terdekat yang setiap hari berinteraksi, ikut pula memengaruhi. Sedang faktor lainnya: sekolah, tempat kerja, buku-buku bacaan, seruan ulama, berbagai macam media, lingkungan, maupun masyarakat luas.

Cita-cita dan tujuan hidup tersebut adalah hidup di dunia enak dan semua keinginan yang dibutuhkan tercukupi. Jauh dari masalah-masalah berat yang melilit kehidupan. Usaha sukses, kaya raya, rumah-mobil-perabotan mewah, harta melimpah yang cukup untuk 7 (tujuh) turunan. Hingga puncaknya, ketika mati nanti masuk surga.

Terlepas benar tidaknya fenomena yang sesungguhnya, yang jelas, sampai detik ini, ia diyakini kebenarannya. Secara alamiah ia telah diwariskan oleh para nenek moyang terdahulu. Seolah menjadi ”pakem” yang harus diwariskan secara turun tumurun.

Namun ironisnya, para anak cucu sekarang (kita-kita semua) tanpa berpikir mendalam langsung mewarisi dan mempraktekkannya. Tanpa ada usaha menggali hakekat kebenarannya hingga jablas-kandas-tuntas. Disamping belum adanya upaya berbagai pihak untuk melakukan rekonstruksi dan reorientasi ”visi-misi” kehidupan yang sejati.

Akal Yang Tertinggi
Secara logika (maupun jagad pemikiran pada umumnya), cita-cita hidup di atas memang sangat rasional. Akal sehat bisa menerima sepenuhnya—karena memang hanya sebatas itulah pengetahuan yang diterima.Tetapi bila ditinjau dari akal ”yang tertinggi”, yaitu akal pikiran yang tercerahkan oleh ”mata hati” yang bening jernih dan tajam, cita-cita tersebut ”tidak benar”.

Kesimpulan tersebut diperoleh karena akal ini telah ”mampu” menjangkau pertanyaan mengapa kehidupan ini ada. Ia juga mampu menggagas-tuntas mengapa Tuhan membuat khalifah/rasul/utusan—yang awalnya diprotes malaikat. Dan, ia juga mampu menjawab mengapa malaikat berani memprotes kebijakan Tuhan tersebut.

Implikasinya, akal ini bisa memastikan bagaimana menentukan cita-cita dan tujuan hidup yang benar. Ia juga bisa mengelola dan memenej kehidupan yang bermakna, yang selanjutnya mampu ”meraih hidup bermakna” berdasar petunjuk-Nya. Serta, mampu/berani untuk mengubah nasibnya sendiri. Sebab menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang bila orang tersebut tidak mau mengubah nasibnya sendiri.

Grand Skenario
Secara sufism-experience, grand skenario kehidupan adalah sebagai ujian. Yaa, ujian yang harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya agar bisa pulang kembali kepada-Nya. Andai seorang ”Tarzan”—yang ujiannya sejak lahir dibuang di tengah hutan—maka target dan tujuan hidup ditengah “komunitas hutan”-nya adalah mencari hingga bertemu orang tuanya.

Sedang materi ujiannya adalah anak-istri, keluarga, harta, pekerjaan, jabatan, dan segala isinya dunia. Termasuk jiwa raganya sendiri, dan segala macam bentuk-sistem-metode-birokrasi aktifitas kehidupan lainnya. Ditambah dengan beratus-ratus artefak (budaya, teknologi, industri, komunikasi, aneka permainan kesenangan dan semacamnya) ciptaan manusia.

Sayangnya, materi uji ini ternyata benar-benar memabuk-linglungkan pengerjanya. Menjadikan lupa sama sekali bahwa bagaimanapun suasana kehidupan (materi ujian), ia tetaplah ujian. Celakanya, ia memang dibuat sangat-sangat indah, menarik, dan memesona. ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (alat transportasi yang canggih/modern), binatang-binatang ternak dan sawah ladang (pekerjaan)” (QS.3:14).

Yang memprihatinkan, grand skenario ini mengalami pergeseran makna. Terdiferensiasi menjadi beribu-ribu skenario lain, yang masing-masing berusaha berdiri sendiri. Tidak mau mengintegrasi (mengerucut) pada skenario utamanya.
Misalnya ungkapan ”hidup adalah perjuangan”. Perjuangan sendiri ternyata banyak tafsirnya. Ada yang menafsirkan perjuangan menggapai sukses, perjuangan memakmurkan dunia, perjuangan menggapai kebahagiaan dunia akherat, perjuangan mendapatkan surga dan lain sebagainya.

Mestinya, perjuangannya adalah perjuangan ”bertemu” Tuhan. Bukannya perjuangan masuk surga, terhindar dari neraka, dan bukan pula perjuangan-perjuangan lainnya. Sebab, surga neraka adalah milik-Nya. Tidak sepantasnya bila hamba ikut mencampuri urusan-Nya. Urusan hamba adalah memproses diri agar bisa bertemu lagi dengan-Nya.

Pakem ”bertemu Tuhan” ini pun mengalami distorsi. Banyak yang berasumsi bahwa setiap kematian pasti bertemu dengan-Nya. Barulah kemudian masuk surga atau neraka sesuai dengan perbuatannya. Bila ternyata masuk neraka lebih dahulu, maka setelah ditebus dengan berbagai siksa, barulah akan dimasukkan surga. Bahkan ada yang kelewat optimis ”pasti” masuk surga.

Sementara grand skenarionya, tidak semua kematian otomatis berjumpa lagi dengan-Nya. Orang-orang ”super khos” telah membuktikannya. Yaitu mereka yang dianugerahi ”hidayah khusus” oleh-Nya—yang terlebih dahulu menjalani ”ilmu khos” pethingan(rahasia)-Nya. Melalui pandangan ”mata hati”-nya yang bening jernih dan tajam, dapat melihat ruh mereka yang tersesat (masuk alam penasaran [alamnya jin, setan, demit, tuyul, gendruwo, dsb]) dan ruh mereka yang selamat (masuk akherat, bertemu Tuhan).

Fenomena Surga Neraka
Surga neraka, oleh kebanyakan orang dijadikan ”ending” dari kehidupan. Hidup dan ibadah kemudian demi mendapat surga dan terbebas dari neraka. Karenanya, masuk surga—dan terhindar dari neraka—adalah segala-galanya (final target) dan dijadikanlah sebagai tujuan akhir kehidupan.

Persepsi seperti itu sama sekali tidak benar. Sebab, surga dan neraka adalah milik-Nya. Maka yang benar adalah bertemu pemilik surga neraka adalah segala-galanya. Sebagaimana wasiat Sunan Kalijogo ”Inna al-jannata laqiya Rabba”, sesungguhnya surga itu tempat/suasana bertemunya hamba dengan Tuhannya.

Fungsi dasar dimunculkannya imbalan surga dan ancaman neraka adalah pengiming-iming (daya tarik/pikat) dan pemicu (cambuk). Yaitu agar manusia tertarik untuk beribadah kepada-Nya dan kemudian menjauhi larangan-Nya. Sebab, tanpa adanya iming-iming dan ancaman, kebanyakan manusia tidak mau mengerjakan seruan rasul-Nya.
Cenderung sak karepe dewe, nggugu benarnya sendiri, bahkan merasa cukup dengan pendapat/ide/pengetahuan yang telah dimiliki. Terlanjur ”kelet” (terpatri) dengan dunianya beserta alam pikirnya masing-masing. Hingga tidak butuh bertemu Sang pemilik dunia maupun pemilik pikiran.

Persis kisahnya anak kecil, agar mau mengerjakan perintah orang tuanya, maka kepadanya perlu diiming-iming (dijanjikan) permen/uang. Tetapi begitu pikirannya dewasa, dapat berpikir bahwa mengerjakan perintah orang tua adalah sebuah keharusan, maka ia tidak lagi mengharap permen/uang yang telah dijanjikan.

Oleh karenanya, pengenalan ”hidup yang bermakna” penting dilakukan sejak dini. Ia juga perlu disosialisasikan secara luas dan berkesinambungan, agar pikiran umat tercerahkan oleh akal yang tertinggi. Menggapai kehidupan yang bermakna. Terbebas dari pikiran ”mengharap imbalan” ketika membantu orang tua. Dan terbebas pula dari mengharap surga ketika beribadah kepada-Nya.

Membumikan kritik Chrisye dan Dewa dalam syair lagunya: ”Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepada-Nya?” Sekaligus mencermati merenungi dan meneladani ”langit hikmah” pengalaman-pemikiran sufi agung Rabiah Adawiyah: “Ya Rabb, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakar aku dalam neraka. Jika aku menyembah-Mu dengan mengharap surga, haramkan dia bagiku. Dan jika aku menyembah-Mu karena Diri-Mu semata, jangan cabut aku dari keindahan abadi-Mu”.

pencarian:

,hidup bermakna,,hidup yang bermakna

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

6 Responses to “MERAIH HIDUP BERMAKNA”

  1. Artikel yang informative gan. Kl blh tau, di mana juragan mendapatkan tema themenya? Themenya sangat bagus, sepertinya itu yang dirancang secara profesional,thanks.

    [Reply]

    Roni Djamaloeddin Reply:

    Temanya dari pemikiran yang didasari pengalaman. Pengalaman yang diperoleh dari hikmah berguru…

    [Reply]

  2. Salam kenal juragan Roni Djamaloeddin , Begitu banyak untuk memberikan setiap orang kesempatan yang sangat mempesona untuk membaca artikel dan posting posting dari blog ini, Terima kasih. Posting posting anda sangat menarik, saya menyempatkan waktu untuk mengunjungi situs web Anda tidak kurang dari 3 kali per minggu untuk melihat rahasia rahasia terbaru Anda. Dan tentu saja, aku selalu terkejut dengan pikiran yang luar biasa Anda berikan.

    [Reply]

    Roni Djamaloeddin Reply:

    Salam kenal kembali, ….walau hanya kenal2an.

    [Reply]

  3. pakdejenggot says:

    tadz ijin nyimak dan copy . artikelnya ngena.

    [Reply]

    Roni Djamaloeddin Reply:

    silakan…

    [Reply]

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.