Ndangak-Ndingkluk dalam Ilmu dan Harta
Posted By Roni Djamaloeddin on March 8, 2010
Salah satu syukur yang biasanya luput dari panggraitan adalah syukur ilmu. Sebagaimana syukur-syukur yang lain, idealnya, syukur ilmu ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Alasannya, bila ditafakuri secara mendalam; tingkat keilmuan, tingkat pendidikan, maupun tingkat pemahaman-penguasaan yang kita rasakan detik ini, adalah murni karena hidayah-Nya. Bukan karena jerih payah, usaha keras, maupun ketlatenan kita dalam belajar. Walaupun pada mulanya memang karena usaha dan kesungguhan kita.
Sebagaimana diberitakan Al Quran, “..dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar..” (QS.8:17). Sehingga analoginya, bukan kita yang bisa atas berbagai ilmu yang telah kita pelajari dan kita tekuni. Bukan pula karena kerja keras kita sehingga bisa mendapat gelar seperti sekarang. Melainkan Tuhan-lah yang membisakan. Tuhan-lah Yang Maha Bisa.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logisnya, sedikitnya ada empat hal yang perlu kita cermati dengan penuh kearifan. Pertama, kita harus berusaha benar-benar bisa mensyukurinya. Kita telah dipahamkan oleh-Nya. Kita dimaukan belajar sungguh-sungguh dan dimaukan tlaten. Seandainya tidak dimaukan dan ditlatenkan, serta tidak mendapat tarikan rahmat dan fadhal-Nya, tentu tidak bisa paham dan menguasai ilmu sebagaimana kita rasakan sekarang. Inilah yang harus disyukuri secara mendalam.
Kedua, merealisasikan bersyukur dengan terus belajar dan belajar terus. Dibarengi dengan menerapkan filosofi “ndangak”. Artinya melihat yang kadar keilmuan dan pemahamannya lebih tinggi dari kita. Iri drengki meri pada keilmuannya. Mencontoh usaha dan sungguh-sungguhnya dalam belajar. Selanjutnya memotivasi dan memacu diri untuk bisa melebihi pemahaman dan penguasaan ilmunya. Mempraktekkan fastabikhul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) melalui wujud nyata.
Mempraktikkan filosofi ndangak ini harus diimbangi dengan filosofi “ndingkluk”. Ndingkluk-nya dalam masalah harta, tahta, pangkat, kedudukan, maupun berbagai hal dunia lainnya. Yang dilihat adalah yang berada di bawah. Yang lebih kekurangan atau yang lebih sederhana. Dengan demikian akan merangsang hati selalu bersyukur atas segala pemberian-Nya. Memicu hati gampang nglenggana, nyegara, lapang dada, serta nrima ing pandum-nya Pangeran. Memudahkan hati istiqomah dalam berdzikir. Hingga damai dan sejahtera dengan Tuhan.
Sebaliknya, bila memandang masalah harta dan dunia dengan filosofi ndangak, yaitu melihat keduniawian yang berada di atas, akan membangunkan watak iri drengki meri yang sifatnya negatif. Akan menyuburkan nafsu beserta pasukannya.
Komandannya yang bernama pengakuan, atau watak ngaku, akan merajalela berkuasa. Menggerogoti potensi mulia hati nurani. Hati tempat mengalirnya Nur Cahaya Ilahi menjadi tak berdaya dibuatnya. Akan melemahkan bahkan menutup erat pintu bersyukur. Pada gilirannya bisa menyumbat turunnya hidayah Tuhan, berganti menjadi bebendu.
Ketiga, tidak boleh puas bangga atas ilmu pengetahuan, pengalaman dan keyakinan yang telah dimiliki. Sebab, hal ini sama artinya dengan berhenti, alias mati. Sama artinya pula dengan menghentikan cita-cita luhurnya hati nurani roh dan rasa menjelajah luasnya samudera Ilmu Tuhan, dalam rangka pulang kembali pada-Nya.
Imam Ali menyebutnya dengan orang yang bodoh. “Orang yang bodoh adalah yang menganggap dirinya tahu tentang ma’rifat ilmu yang sebenarnya tidak diketahuinya, dan dia merasa cukup dengan pendapatnya saja”.
Makna lateralnya, orang yang bodoh adalah merasa cukup dan merasa puas atas ilmu pengetahuan, ilmu pengalaman, serta ilmu keyakinan yang dimiliki. Bodoh dalam arti tidak mau melihat dan menyadari bahwa Ilmu Tuhan itu tak terhingga luasnya. Kebenaran itu mutlak di tangan Tuhan. Al-haq min Rabbika. Karenanya, tak seorang pun tahu rahasia besar ilmu-Nya.
Bodoh dalam arti lain, adalah “merasa puas” terjebak dan terperangkap oleh tipu daya nafsu. Merasa bisa adalah nafsu. Merasa cukup juga nafsu. Sebab, hakekat Yang Bisa adalah Tuhan. Yang berhak merasa cukup juga Tuhan. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.8:17 di atas.
Keempat, mencermati ungkapan di atas langit masih ada langit. Di atas orang yang tinggi keilmuannya, masih ada yang lebih tinggi lagi. Kita perlu terus belajar darinya. Mencontoh pengalaman Nabi Musa. Sekalipun telah diangkat sebagai nabi dan rasul-Nya, tetap mau belajar kepada orang lain (Nabi Khidr). Sekalipun ilmu beliau sudah jadug di langit, namun di atas beliau masih ada langit yang perlu dibelajari.
Ini menandakan bahwa sekalipun telah punya gelar istimewa dihadapan Tuhan, diangkat menjadi rasul-Nya, tetap saja sebagai manusia biasa. Belajar dan terus belajar dari siapapun yang memang perlu dibelajari. Sebab, ternyata, Tuhan itu sak maunya sendiri dalam menurunkan ilmu rahasia kebenarannya. Bisa melalui malaikat yang menyerupai manusia biasa. Bisa melalui bayi baru lahir yang bisa bicara. Melalui makhluk lain pun sangat bisa. Tuhan Maha Kuasa.
Namun demikian, kita tidak boleh berlebihan dalam memuliakan dan mengagumi sosok yang kebetulan mengada di langit. Sebagaimana wasiat Imam Ali: “Dua kelompok manusia akan binasa lantaran aku, yang kelewat batas dalam mencintaiku, dan yang kelewat batas dalam membenciku.” Berlebihan mencintai jadi binasa. Berlebihan membenci juga binasa.
Kita juga tidak boleh meremehkan mereka yang kebetulan ilmunya “rendah” di bumi. Sebab, baik yang mengada di langit maupun mengada di bumi adalah milik-Nya. Kebenaran tetaplah milik Tuhan. Bisa turun dari langit. Bisa nyumber dari bumi.
Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Undhur ma qaala walaa tandur man qaala. Lihatlah apa yang disampaikan, jangan melihat siapa yang bicara.” Jangan melihat figur penyampainya. Cermati dengan bijak tutur katanya. Adakah disana kebenaran sejalan dengan kehendak Tuhan dan utusan-Nya. Ataukah kebenaran yang sejalan dengan nafsu. Atau malah tidak ada kebenarannya sama sekali. Kita wajib memfilter sebelum akhirnya memanfaatkan atau membuang.
Dibarengi dengan meningkatkan hati-hati dan waspada. Hati-hati atas lembutnya tipu daya nafsu. Hati-hati dalam mencermati ajakan syaitan ataukah “siliring qudrat”. Waspada atas lembutnya jaringan iblis sak balanya. Waspada pada durga angrangsang yang ngaku resi. Sebab ternyata, musang berbulu domba telah ada semenjak jaman Nabi dulu.
Berani ngaku-ngaku sebagai Nabi. Atau ngaku sebagai wali. Bahkan mengaku pewarisnya para nabi. Padahal ilmu dan lakunya, lahir dan batinnya, terlebih hati nurani ruh dan rasanya, belum tentu benar-benar mewarisi ruh dan rasanya para nabi.
Maka sangat tepat bila mewarisi wasiat para pinisepuh “sak beja bejaning wong sing lali, isih beja sing tansah eling lan waspada”. Ilmu pethingan slamet yang seharusnya dilestarikan oleh kita semua. Dengan harapan, bisa menjadi bekal untuk selalu mensyukuri ilmu pemberian-Nya. Serta dijauhkan dari kebodohan yang terluput dari pemikiran, instrospeksi, dan kesadaran.
Catatan:
Tulisan ini dimuat harian Radar Kediri (Jawa Pos Grup), hari Jumat tgl. 14 Agustus 2009, kolom mutiara Jumat.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.