PERENUNGAN : ANTARA BELUM DAN BISA BERPIKIR
Posted By Roni Djamaloeddin on January 17, 2023
Ketika melihat polah anak kecil yang tidak karuan atau bahkan berlawanan dengan pemikiran kita, maka kita segera menyadari kalau ia memang anak-anak. Belum bisa berpikir—apalagi membedakan—mana yang baik dan mana yang tidak. Maka, pantas saja bila ia berlaku demikian.
Ketika seorang anak “mau”-nya bekerja (menjalankan perintah orang tua) hanya karena imbalan, maka orang tua akan menasehati bahwa hal demikian tidak benar. Hati kecilnya berharap semoga pemikirannya lekas dewasa. Jangan sampai mempunyai mental mau bekerja (bantu orang tua) karena pamrih imbalan. Dibarengi permohonan kepada Tuhan agar si anak diberi kesadaran bahwa mengerjakan perintah orang tua adalah wajib bagi seorang anak, dan seharusnya pula dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Lain halnya dengan si anak, karena ia belum bisa berpikir, maka mental/sikap seperti itu dianggapnya benar. Menurutnya, sangat logis bila bekerja (walaupun terhadap orang tuanya sendiri) maka berhak mendapatkan imbalan. Kenyataan diluar pun demikian, dimana pun seseorang bekerja, maka pastilah berhak mendapat imbalan. Dan memang itu yang sangat diharapkan. Oleh karenanya, ia akan selalu dan selalu minta imbalan, ketika orang tuanya meminta mengerjakan pekerjaan tertentu. Walaupun, bisa jadi, untuk kepentingannya sendiri.
Orang tua yang menyadari kekeliruan si anak, maka pikirannya akan bekerja. Mental si anak harus segera dibenahi. Pendidikan dan pengarahan harus tetap berlangsung sebagaimana semangat “long life education”. Sebab, kalaulah tidak segera dibenahi dan diarahkan, tentu, selamanya pula tidak akan pernah mengerti memahami. Si anak harus diberi pengarahan bahwa mengerjakan perintah orang tua adalah wajib hukumnya, bahkan sebagai ibadah. Berbakti kepada orang tua adalah perintah Tuhan yang tidak bisa dihindari. Bila melanggarnya, akan menghadapi siksa yang teramat berat di akherat kelak.
Sebaliknya, orang tua yang belum bisa berpikir, maka dianggaplah si anak tersebut adalah anak yang tidak tahu diri. Tidak bisa berpikir dan tidak mau mengerti. Bahkan, bisa jadi dianggap sebagai “musuh”-nya. Maka selayaknya bila kepadanya diberi sangsi (hukuman) berat.
Begitulah, sebuah gambaran “kehidupan berpikir” yang kita jumpai sehari-hari. Nampak jelas bedanya antara mereka yang belum bisa berpikir dan yang sudah bisa berpikir. Pokok masalahnya pun sebenarnya sangat sederhana. Dan ternyata, untuk “hijrah” dari belum bisa berpikir menuju bisa berpikir, memerlukan pihak “ketiga” untuk membuka pengertiannya.
Selanjutnya, bagaimana bila masalahnya ditarik ke masalah yang lebih luas dan kompleks, semisal pejabat yang korup, fenomena dihidupkan di dunia, maupun makin maraknya bencana?
Menganalogi kisah di atas, antara yang belum bisa berpikir dan sudah bisa berpikir, maka, mereka yang mengkorup negeri ini, tidak memikirkan kesejahteraan bersama, tidak mementingkan kepentingan bersama (lebih mementingkan kepentingan sendiri maupun kelompoknya), maka selayaknya bila dikatakan kepadanya “belum bisa berpikir”. Berpikirnya masih sempit, yaitu sebatas memikirkan kebutuhan diri sendiri (ataupun kelompok) dengan “menafikan” masalah disekelilingnya yang lebih luas dan kompleks.
Demikian halnya tentang dihidupkan di dunia. Yang belum bisa berpikir, maka pikirannya dibuai oleh angan-angan kosong. Dijajah oleh warisan mitos-budaya-pemikiran nenek moyang, maupun retorika-bualan yang tidak karuan pastinya. Yaitu, hidup di dunia enak kaya subur makmur bahagia sehat sejahtera, dan matinya nanti masuk surga. Di dunia enak di akherat juga enak.
Oleh karenanya, semangat kerja maupun semangat ibadahnya, dibuai oleh harapan-harapan kosong. Dikuasai oleh pamrih “bangsa donya” dan pamrih “bangsa akherat”. Pamrih bangsa donya-nya, mengharap upah sanjungan penghargaan penghormatan dan sebangsanya. Sedangkan pamrih bangsa akherat-nya, mendapatkan pahala, keinginan masuk surga, dan dijauhkan dari siksa neraka.
Sebaliknya, bagi yang bisa berpikir, tidak demikian. Disadari sepenuhnya dunia adalah cobaan. Betapapun keadaannya, baik susah senang bahagia sengsara tetaplah cobaan. Lebih dari itu, dunia adalah bayang-bayang, semu, ilusi, fatamorgana, yang hakekatnya tidak ada. Oleh karenanya, seharusnya dinafikan (ditiadakan) dari dalam hati nurani roh dan rasa. Dunia seisinya semua dinampakkan nyata pada pandangan mata manusia adalah untuk ujian. Ujian yang harus diselesaikan agar bisa pulang kembali kepada-Nya. Oleh karenanya, harus bisa dikuasai dan dikendalikan. Jangan sampai adanya cobaan (wujud dunia dan seisinya) ini menjajah memperkosa memperbudak jati diri manusianya. Karenanya, seharusnya pula tidak disenangi, tidak dibanggai, tidak dijadikan tujuan hidup, dan tidak pula diingat-ingat dalam hati nurani (dinafikan).
Semestinya, sebagaimana kisah anak-orang tua di atas, bekerja maupun beribadahnya adalah adalah wujud butuhnya hamba kepada Tuhannya. Tidak selayaknya bila beribadahnya disertai harapan mendapat pahala, masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Sebab, itu semua adalah “pengiming-iming” maupun “pemicu” agar mau menjalankan perintah-Nya. Tentunya, setelah “dewasa” bisa berpikir, (diharapkan) mau menyadari kalaulah ibadah adalah sebuah kebutuhan wajib yang sama sekali tidak dapat ditinggalkan.
Sebagaimana halnya mau bekerjanya seorang anak atas perintah orang tua, maunya bekerja bukan karena pamrih “bayaran”, melainkan karena wajibnya seorang anak dalam berbakti kepada orang tua. Jauh dari sikap mental minta ”pahala” di hadapannya.
Di lain pihak, sebuah cita-cita luhur, pastilah ada syarat mutlak yang mendasarinya. Demikian halnya perjalanan mendekat hingga bertemu dengan-Nya, syarat mutlaknya adalah mengerjakan petunjuk-Nya—yang diturunkan melalui utusan-Nya. Urusan pahala surga neraka adalah urusan-Nya semata. Tidak sepantasnya bila “ikut main” di dalamnya.
Sebaliknya, yang seharusnya selalu terngiang dipikirannya adalah sudah pas-kah apa yang dikerjakan tersebut dengan rambu-rambu (kehendak) utusan-Nya (sekaligus kehendak Tuhan)? Sebab, bila tidak pas, resikonya akan ditanggung sendiri. Tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Yang ngeri, resiko ketidakpasan itu bisa berupa turunnya “bebendu cicilan” yang dicicilkan dalam kehidupan ini. Berupa datangnya berbagai macam cobaan dan penderitaan, baik yang sifatnya lahiriah maupun yang batiniah. Sedang sisanya, diberikan di akherat kelak.
Demikian pula dengan adanya berbagai bencana yang sekarang makin “ramai” melanda tanah air. Bagi yang belum bisa berpikir, maka ada kecenderungan untuk menyalahkan orang lain. Bahkan, bisa jadi, menyalahkan Tuhan. Karena “merasa hebat” ibadahnya, maka beranggapan tidak selayaknya menimpa dirinya.
Mengapa yang justru tempatnya maksiat (semisal lokalisasi, pusat perjudian, permaksiatan) kok tidak dibencanakan. Sedangkan yang taat beragama malah dibencanakan. Bukankah hal seperti itu tidak adil?
Mengapa yang tidak berdosa pun ikut terkena getahnya, kok tidak hanya yang berkepentingan (melakukan dosa) saja ? Dan seterusnya dan sebagainya.
Berpikirnya persis sebagaimana ungkapan pepatah “gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman diseberang lautan tampak”. Sungguh sangat ironis.
Sedang yang bisa berpikir, tentu akan nggraita, pasti ada sebab-musabab yang sangat menentukan hingga terjadi bencana. Salah satunya, tentang hakekat yang disembah. Pasti ada salah persepsi tentang-Nya. Sebab ketentuan-Nya menyatakan: “Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada sembahan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. 20:14).
AKU (dalam arti Wujud Dzat-Nya) inilah yang seharusnya disembah (bukan nama-Nya/istilah-Nya/sebutan-Nya yang berjumlah 99 dan menurut hamba-Nya mencapai ratusan bahkan ribuan). AKU yang menurut firman-Nya, lebih dekat keberadaannya bila dibanding dengan otot lehernya hamba. Atau singkatnya, AKU yang lebih dekat dari pada nafasnya sendiri.
Sementara kenyataannya, wujud Aku (Dzat Tuhan) yang selama ini disembah hanyalah diangan-angan, dikira-kira dan duga-duga dari tempat yang jauh. Alias tidak dapat diyakini kepastiannya dalam hati nurani roh dan rasa hingga “hakkul-yakin”. Yang disembah hanyalah katanya-katanya, kira-kira, dan hanya warisan budaya mitos retorika nenek moyang.
Oleh karenanya, pemikirannya akan menyimpulkan bahwa Tuhan pasti menunjukkan bagaimana agar bersembahnya kepada-Nya benar-benar “benar” menurut kehendak-Nya. “Pasti” ada salah satu hamba-Nya yang dipilih dan ditunjuk langsung untuk menunjukkan bagaimana bersembah yang benar.
Sebagaimana halnya “teladan” yang dicontohkan kepada Nabi Musa. Ditunjukkan dinanpakkan kepadanya bila untuk untuk mencapai kebenaran Tuhan, harus berguru kepada orang lain yang diutus Tuhan (Nabi Khidzir).
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.