SINKRONISASI : AD-DIN vs AGAMA

Posted By on August 26, 2023

Hampir semua tafsir atau kamus mengartikan ad-din adalah agama. Sedang makna dalam bahasa Arab sendiri, ad-din adalah al-khudu’ al-mutlak (tunduk secara mutlak).

Sementara makna agama, yang dalam bahasa Sansekerta a = tidak, gama = kacau/rusak, adalah seperangkat peraturan dari Tuhan yang mendidik mengatur dan mengantar pemeluknya tidak rusak. Maka implikasinya, semua agama di muka bumi, mestinya mengantar pemeluknya tidak rusak (dunianya dan akheratnya).

Sedang fakta sejarah menyatakan sebagian pelaku agama terjebak dalam kekacauan, kerusakan, bahkan hingga peperangan. Contoh nyata, peristiwa perang salib yang melibatkan dua agama, berlangsung hampir dua abad (1095 – 1291M). Perang Irak Iran yang sesama Islam, berlangsung selama delapan tahun (1980 – 1988M). Serta masih banyak fakta penyimpangan makna agama, baik masa lalu apalagi masa sekarang. Dan rasa-rasanya, akan terus berlangsung dan semakin memanas di kemudian hari.

Terus introspeksinya, dimana nilai atau “filosofi langit” yang mestinya menjaga mengantar praktisi agama menjadi tidak rusak?
Apakah layak dikatakan karena oknum pelakunya?
Atau mungkin karena rohnya agama yang hilang?
Atau karena apa/bagaimana hingga bisa demikian?

Oleh karenanya, hipotesis yang bisa dimunculkan :
1) pemaknaan ad-din dengan agama kurang pas-mantab pada tempatnya.
2) makna agama sendiri dimungkinkan terjadi parsial, tidak menyeluruh seperti awal diciptakan.
3) terjadinya berbagai kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama (Islam), karena mispersepsi memaknai Ali Imran 19: Inna ad-dina ‘indallahi al-Islam. Bahkan ia dijadikan fondasi menyalahkan yang beda agama/keyaknan.

Mencermati menyikapi masalah tersebut, dengan modal pengalaman bertasawuf (berguru pada ahli dzikir, an-Nahl 43) serta diramu olah nalar olah roh olah rasa, maka solusi yang ditawarkan adalah sinkronisasi makna ad-din dengan agama. Diantaranya :

Pertama, menyesuaikan makna agama (tidak rusak, tidak kacau) sesuai unsur anasir jiwa raga manusia (jasadiah, hati, roh, rasa). Sehingga pemeluk agama mesti menjaga mendidik dirinya agar tidak rusak jasadiahnya, tidak rusak hatinya, tidak rusak rohnya, dan tidak rusak rasanya. Yang tupoksi juklak juknisnya digelar langsung oleh sang pembawa agama, yang dijaga dan diturunkan sendiri oleh Tuhan.

Kedua, mengembalikan makna ad-din dengan al-khudu’ al-mutlaq (tunduk secara mutlak). Yaitu tunduk secara mutlak dihadapan Tuhan. Yang dipraktikkan dengan patuh tunduk dihadapan wakil/khalifah/rasul-Nya. Oleh sebab Tuhan tidak ngejawantah (tidak menampak di bumi) maka membuat wakil/khalifah yang dimulai dari Adam, Idris, Nuh, …sampai sekarang, hingga kiyamat. Aplikasi dari Inni ja’ilun fil ardhi khalifah (al Baqarah 30).

Sehingga pas-mantab sesuai yang tersurat dalam Ali Imran 19 :
Sesungguhnya (siapa pun mereka) yang tunduk secara mutlak di sisi Allah, itulah yg selamat (diselamatkan Tuhan).
Ayat ini tidak menunjuk agama tertentu. Juga tidak menentukan latar belakang nasab, pendidikan, jabatan keagamaan, organisasi, aliran, mahdzab, …dlsb.

Tunduk secara mutlaknya seperti malaikat yang patuh sujud dihadapan Khalifah Adam. Atau dalam bahasa sufinya kalmayyiti bayna yadi al-ghasili (memberlaku diri seperti mayat yang pasrah bongkokan dihadapan yang memandikan). Tidak protes sama sekali atas segala dawuh petunjuk perintah larangan yang mensucikannya.

Ketiga, bila ad-din dimaknai agama, maka Ali Imran 19 maknanya menjadi :
Sesungguhnya (siapa pun mereka) yang menjaga tidak rusak jiwaraganya (jasadiah, hati, roh, dan rasanya) dihadapan Allah, maka akan selamat (diselamatkan Tuhan).

Tidak rusak jasadiahnya yaitu ketika tertib menjalankan syareat yang digelar rasul pembawa agama. Termasuk didalamnya sidiq amanah tabligh fatonah, lemah lembut, sopan santun, andap asor, pribadi mulia, menjunjung adab akhlak, kerja keras, hingga profesional dibidangnya masing-masing.

Tidak rusak hatinya yaitu ketika hati berjalan pada fungsinya (ngambah tarekat) serta membersihkan dan menjaga hati dari berbagai penyakit dan hal-hal yang mengotori hati, kumantil/kelet pada dunia (https://ronijamal.com/hati-yang-islam/). Tidak rusaknya roh adalah ketika telah mencicil mengembalikan pinjaman roh pada pemiliknya (https://ronijamal.com/martabat-roh/). Dan tidak rusaknya rasa ketika rasa mulai dibangkitkan menuju makrifat billah (https://ronijamal.com/bangkitkan-rasa/).

Dengan demikian simpul sinkronnya, sesungguhnya (siapapun mereka, dari latar belakang agama apapun) yang tunduk secara mutlak disisi Tuhan, dengan menjaga diri dari kerusakan kekacauan jiwaraga (jasadiah, hati, roh, dan rasanya) maka dialah yang selamat (diselamatkan Tuhan) di kampung dunia dan kampung akherat.

Sebagaimana firman dalam al Baqarah 62 : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati (karena damai dan bahagia di dalam Tuhan)”.

___210823–belajar istikomah tumakninah nderek Guru (Romo Kyai Tanjung).

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.