SPARING NALAR : Dimana Kata Ikhlasnya?
Posted By Roni Djamaloeddin on December 4, 2021
Tulisan sebelumnya, “Rasionalisasi Ikhlas” telah membahas apa itu ikhlas dari sisi rasionalnya. Bukan sekedar tangan kanan berbuat baik, tangan kiri tidak tahu. Bukan sekedar buang kotoran yang tidak mengharap balik kembali. Tapi lebih jeruu dan mendasar.
(https://ronijamal.com/rasionalisasi-ikhlas/)
Juga tulisan “Belajar Ikhlas”, telah membahas secara detail, bagaimana belajar ikhlas dari pengalaman berguru. Yaitu ketika mampu mewujudnyatakan (makna jeruu dari Qul : katakan) HUWA itu Yang Ahadiyat. Menyatakan HUWA Yang Maha Wujud. HUWA Yang Maha Ada. Juga Yang Maha Bisa, Yang Maha Punya, Yang Maha menggerakkan, dan Maha Segala-galanya. Selanjutnya bergantung sepenuhnya pada HUWA. Tidak menggantikan sandaran lain selain-NYA. Menjadikan HUWA sebagai tempat bergantung, tempat meminta, dan tempat mengadu.
Jadi simpelnya, belajar ikhlas itu prasarat mutlaknya mencari ilmu mengenal pasti HUWA. Dari Guru yang hak dan sah mengajarinya. Walau sampai ke negeri china, walau sampai penjuru dunia, bahkan hingga luar angkasa.
Sebab, belajar ikhlas itu, tanpa ada ilmu dan guru yang mengajari, mustahil bisa tumbuh dalam dada. Apalagi subur dan lestari dalam membelajari menyelaminya.
(https://ronijamal.com/belajar-ikhlas/)
Terus, dimana kata ikhlasnya?
Ia bisa terjadi ketika sudah menangkap memahami nilai rasionalnya. Berniat tekad kuat belajar menyelaminya. Hingga yang menampak wujud nyata dalam dada hanya isinya HUWA. Yang dirasakan bisa apa-apa, kuat apa-apa, punya segala-galanya, yaa hanya Isinya HUWA.
Disitulah ikhlas itu. Ora kenek diomong, tidak bisa dibicarakan lagi. Kerja keras professional karena HUWA, di dalam HUWA. Pribadi wira’i andap asor mulia sempurna, karena HUWA di dalam HUWA. Sirna semua pengakuan diri di dalam HUWA.
Analogi sangat³ sederhananya, dua sejoli yang lagi kasmaran, sangat butuh kata indah ailopyu dari mulut pasangannya. Tanpa mengatakan kalimat itu, tidak ketrima ungkapan kasih cintanya, walau telah berkorban jiwa raganya. Dan dianggapnya hanya teman biasa.
Kemudian setelah terikat dalam catatan resmi kemenag, maka tidak butuh lagi kalimat Indah ailopyu itu. Masing-masing hanya membutuhkan saling pengertian, saling membantu, saling melengkapi, saling menyelimuti, saling memakai, hingga belajar melebur diri di dalam pasangannya.
Maka dengan sendirinya, kalimat ailopyu tidak diperlukan lagi. Lebur di dalam pengorbanan, saling melengkapi dan menyempurnakan, dalam cita-cita mulih melebur menyatu di dalam HUWA.
Jadi ada apa dengan cinta (AADC), telah lebur dan sirna di dalam Isinya HUWA. Ayat ayat cinta-nya menyatu di dalam HUWA.
Itulah tendangan hiperbola : Dimana Kata Ikhlasnya. Menyentil akal nalar rasional dalam permainan SPARING NALAR. Ada hikmahnya, ambil manfaatkan. Tidak ada hikmahnya, lupakan tinggalkan. Gitu aja kok repot!
_____021221–belajar olah nalar olah roh olah rasa dalam nderek Guru (Kyai Tanjung).
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.