Telaah Lanjutan dari Presentasi Harun Yahya
Posted By Roni Djamaloeddin on April 18, 2010
MENYELAMI MAKNA KEABADIAN
KEABADIAN, menurut Harun Yahya –seorang penulis terkemuka di Turki– diasosiasikan oleh manusia umumnya seperti gambaran ribuan tahun, jutaan atau miliaran tahun.
Sebuah konsep waktu yang seakan-akan mengarah kepada jangka waktu selama-lamanya. Sebuah konsep yang tidak berawal dan tidak berujung. Relevan dengan makna abadi itu sendiri, yang dalam kamus bahasa Indonesia artinya kekal, tetap selama-lamanya.
Akan tetapi, dalam pandangan Tuhan Yang Mahakuasa, konsep “selama-lamanya” dan mutlak tak dapat terhitung ini telah berakhir. Keabadian, yang tampak sebagai sebuah konsep yang tak dapat dicapai oleh kita, hanyalah sebuah waktu yang sangat singkat dalam pandangan Allah. “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung”. (Q.S. Al-Hajj [22]: 47).
Sebaliknya, di luar keabadian yang ada hanya semu dan ilusi. Semua yang ada pada diri kita, penglihatan, pendengaran, pemikiran, ingatan dan semua yang ada di lingkungan sekitar kita hanyalah bayang-bayang. Bahkan, dunia dan seisinya, jutaan galaksi yang membentang tak terhingga luasnya, hakikatnya tidak ada.
Sebagaimana yang dikutip Yahya dari ungkapan Imam Rabbani, bahwa seluruh jagad material ini hanyalah “ilusi dan persepsi” dan satu-satunya yang Mutlak (Ada) hanyalah Allah.
Allah –substansi dari yang Ia ciptakan hanyalah ketiadaan (nothingness)– Ia menciptakan semuanya dalam wilayah perasaan atau ilusi. Keberadaan jagad ini juga dalam wilayah perasaan dan ilusi, dan bukan material. Dalam kenyataannya, tidak ada sesuatu pun di luar sana, kecuali Yang Maha agung, (Dialah Allah).
Maulana Jami juga menyatakan hal yang sama, bahwa “Semua fenomena yang terdapat pada jagad ini merupakan perasaan dan ilusi. Mereka seperti bayangan di cermin atau bayang-bayang”.
Demikian halnya mengenai konsep waktu, lebih lanjut Yahya mendiskripsikan, “Masa lalu, kini, dan masa yang akan datang semuanya sama”.
Semua kejadian baik yang terjadi pada masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang, dalam pandangan Tuhan terjadi dalam satu waktu. Ada pada keabadian-Nya.
Filusuf zaman Yunani kuno, orang-orang Sumeria yang menemukan tulisan kuno berbentuk baji, Cleopatra sang ratu Mesir, seniman-seniman zaman Renaisance, ilmuwan-ilmuwan abad 19, para diktator abad 20, dan semua orang, bahkan kakek Anda, kakek buyut Anda, dan Anda sendiri, sebenarnya, hidup di saat yang sama.
Jelas sekali, sebuah ungkapan yang mustahil dan tidak dapat diterima oleh otak manusia. Mengapa ? Penyebabnya, tidak lain karena sangat sedikitnya memori dan pengetahuan yang ada padanya. “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Q.S. Al-Israa’ [17]: 85). Sedang memori dan pengetahuan Tuhan, sangat luar biasa besarnya, hingga karenanya tidak akan pernah dapat diungkap dengan kata-kata. “Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu”. (Q.S. 6:80, Q.S. 7:89)
Oleh karenanya, atas keberhasilannya membongkar konsep ruang dan waktu, dengan menyatakan “keabadian telah dimulai”, Yahya lantas berkesimpulan: Abad 21 akan menjadi titik balik bersejarah, dimana orang-orang akan memahami secara umum kenyataan-kenyataan ketuhanan dan dituntun berduyun-duyun menuju Tuhan Yang Mahamutlak.
Keyakinan materialistis yang berasal dari abad 19 akan dipindahkan ke timbunan sampah sejarah, keberadaan Allah dan penciptaan-Nya akan diterima, kenirruangan dan kenirwaktuan akan dipahami: kemanusiaan, singkatnya, akan menyingkapkan tabir-tabir abad lalu, berikut penipuan-penipuan dan tahayul-tahayul yang telah membingungkan mereka. Tidak mungkin hal yang terelakkan ini dihalangi oleh sebuah bayangan pun.
Selanjutnya yang menjadi permasalahan kalau kita “mulai” mengerti dan memahami realitas kehidupan sesungguhya, lalu, apa makna dan hakikat kehidupan ini sebenarnya ? Siapa yang akan kita tuju setelah kehidupan yang “sesaat” ini berakhir ? Di manakah Dia gerangan bersinggasana ? Apakah keabadian-Nya cukup hanya diangan-angan dan dibayangkan dari tempat yang “jauh”?
Abadi Kitab-Nya, Abadi Rasul-Nya.
Menyelami keabadian, sama artinya dengan menyelami Dzat (Wujud) Tuhan, karena hakikat yang Abadi adalah Tuhan sendiri. Adalah suatu perkara yang seolah-olah “mustahil” terjadi di alam fana ini. Di samping keberadaan Dzat-Nya tidak dapat dijangkau akal pikiran, juga melalui firman-Nya dalam Q.S. Ali Imran [3] ayat 179, Dia tidak akan menampakkan Diri di permukaan bumi-Nya, “… Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu tentang al-Ghaib (Dzat/Wujud Tuhan) Diri-Nya..”. Sebagaimana telah dicontohkan pada peristiwa Nabi Musa yang ingin mengenal Wujud Tuhan, lantas hancurlah gunung tempat menampakkan Diri-Nya.
Namun demikian, kemustahilan tersebut akan terjawab dengan sendirinya bila memahami “secara pasti” dua derivasi (turunan) keabadian-Nya. Hal ini semata-mata karena pengalaman penulis. Yaitu: abadi Kitab-Nya dan abadi Rasul-Nya. Keduanya merupakan syarat “mutlak” menyelami keabadian-Nya. Keduanya harus diyakini secara pasti dan dilaksanakan secara pasti pula dalam kehidupan sehari-hari.
Abadi yang pertama, abadi Kitab-Nya. Bahwa kitab Al-Quran akan terjaga keasliannya sampai kiamat tiba. Ia juga akan senantiasa abadi kandungan maknanya. Tidak mungkin kiranya bila Al-Kitab itu diperuntukkan bagi manusia, sedang yang mengetahui kandungan maknanya hanya Tuhan sendiri.
Tidak mungkin pula satu ayat mempunyai banyak makna (tafsir), sebagaimana yang terjadi sekarang. Masing-masing ayat pasti memuat satu maksud dan kehendak Tuhan. Mana mungkin Tuhan mempunyai banyak kehendak atas setiap ayat-Nya?
Sebagaimana tidak mungkin terpenuhinya cita-cita negara “adil makmur” bila segenap komponen bangsa tidak dapat mengetahui secara pasti Undang-Undang Dasar negaranya berikut UU derivasi dan peraturan-peraturan lain. Apalagi bila hanya berpedoman, “hanya pembuat undang-undang saja yang mengetahui”.
Keabadian Kitab-Nya dengan jelas dapat disimak dalam Q.S. Al Waqi’ah [56] ayat 79 :…laa yamassuhu illa al-muthahharun. Ayat ini oleh sebagian ahli tafsir dimaknai : “tidak boleh (dapat) menyentuh Al Quran kecuali dalam keadaan suci”. Sedangkan makna “hakikat”-nya dan didasarkan atas tafsir “al-mahdi” adalah “tidak akan dapat menyentuh kandungan makna (yang tersirat) dalam Al Quran, kecuali orang-orang yang disucikan (oleh Tuhan)”.
Ungkapan kata disucikan Tuhan, indikasinya, orang (hamba) tersebut mesti menjadi kekasih-Nya. Sedangkan yang namanya kekasih Tuhan, tentu akan dimengertikan segala sesuatu yang menjadi rahasia-rahasia-Nya. Contohnya Nabi Muhammad Saw sendiri, Beliau dimengertikan apa saja yang menjadi rahasia Tuhan. Dimengertikan rahasia-rahasia kehidupan para Nabi, syuhada, solihin yang sudah kembali berada disisi-Nya, maupun isi langit yang tujuh sap. Dimengertikan secara persis kandungan makna semua ayat-ayat dalam Al-Quran, termasuk di dalamnya ayat-ayat yang mutasyabihat (semisal alif lam mim, yaa siin, nun dan sebagainya).
Mengetahui secara persis bagaimana seharusnya hamba ini menghambakan diri dihadapan-Nya serta bagaimana seharusnya berjalan pulang kembali kepada-Nya. Mengetahui secara persis bahwa dunia ini adalah fanak (tidak ada), dinampakkan nyata pada pandangan manusia adalah sebagai ujian, bukan sebagai tujuan untuk menetap.
Seperti halnya keberadaan Nabi Muhammad Saw yang tidak dapat disangka sebelumnya oleh sebagian umat waktu itu (Yahudi dan Nasrani), sehingga muncullah penolakan yang sangat keras. Semuanya sangat bergantung kepada kehendak Dzat Yang Mahakuasa semata. Sama sekali jauh dari jangkauan akal manusia. Dirahasiakan Tuhan sendiri. Hingga tidak semua orang bisa mengetahuinya, kecuali atas kehendak-Nya semata. Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah, maka dialah orang yang mendapat hidayah; dan barang siapa yang disesatkan, maka kamu sama sekali tidak akan mendapatkan baginya Waliyyan Mursyida (=seorang pemimpin yang dapat memberikan petunjuk kepada-Nya). (Q.S. Al-Kahfi [18] : 17).
Abadi yang kedua, abadi Rasul-Nya.
Bahwa mengadanya Rasul Tuhan selalu ada di tengah-tengah umat manusia. Maksudnya, ia akan abadi eksistensinya selama masih ada spesies manusia di muka bumi. Sebagaimana firman-Nya, “Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu (kamu dalam arti nenek moyang, kita semua, anak cucu, semua spesies manusia sampai kiamat). Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Q.S. Ali Imran [3]:101).
Ayat tersebut tidak menegaskan bahwa “kamu” itu maksudnya kamu (umat Muhammad SAW) 14 abad yang lalu. Melainkan “kamu” untuk semua manusia. Yaitu nenek moyang, kita sekarang, anak cucu, dan semua spesies manusia sampai kiamat nanti.
Dengan diutusnya Rasul pertama (Adam), ternyata tidak menjadikan manusia menyadari bagaimana seharusnya berjalan kembali kepada Tuhan, yaitu dengan Itba sepenuhnya kepada RasulNya. Melainkan wataknya yang suka membuat kerusakan dan pertumpahan darah masih saja tetap adanya sampai ketika masa Nabi SAW, masa sekarang, bahkan hingga kiamat nanti.
Oleh karenanya, sangat rasional bila ditindak lanjuti dengan Rasul-rasul berikutnya, yang keberadaannya selalu berada di tengah-tengah kamu (manusia).
Kesimpulan
Keabadian, secara mutlak milik Tuhan semata. Selain Wujud/Dzat Diri-Nya adalah semu, ilusi, bayang-bayang, fatamorgana yang hakikatnya tidak ada. Oleh karenanya satu-satunya “tugas wajib” hamba adalah mempersiapkan diri pulang kembali ke Yang Mahaabadi. Selalu berlatih diri menyatakan ketiadaanya hamba dan menetapkan keberadaan Dzat Yang Mahaada.
Caranya, mengakui, meyakini dan melaksanakan derivasi (turunan) keabadian-Nya yang berupa abadi Kitab-Nya dan abadi Rasul-Nya, sebagaimana mestinya, sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan Sang Pencipta. Hingga akhirnya, menjadi urusanNya semata yang akan memberikan pintu rahmat dan ampunanNya, menarik hamba (pilihan-Nya) abadan abada di sisiNya. Wallahu a’lamu bishshawab.
Catatan:
Tulisan ini dimuat harian umum Pikiran Rakyat pada: Senin, 17 Mei 2004
Comments
4 Responses to “Telaah Lanjutan dari Presentasi Harun Yahya”
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.
pak, lanjut……
kiranya sudi mampir di blog pemula pak roni?? http://www.terusbelajarmenulis.blogspot.com
[Reply]
Roni Djamaloeddin Reply:
April 24th, 2010 at 12:17 am
Ok, lanjut…trus mampir…
[Reply]
benarkah demikian??
[Reply]
Roni Djamaloeddin Reply:
July 18th, 2010 at 11:50 pm
benar…!
[Reply]