TIDAK BISA MENYALAHKAN
Posted By Roni Djamaloeddin on April 20, 2020
Informasi apapun dari manapun dan dari siapapun, yang kemudian dipahami diyakini yang selanjutnya diamalkan, maka diri sendirilah yang akhirnya menanggung segala resikonya. Baik resiko yang baik maupun resiko yang sangat buruk.
Tidak bisa menyalahkan si pemberi informasi. Sekalipun itu dari teman, orang tua, guru, tutor, bahkan yang diyakini “akabir ulama”. Termasuk pula dari tulisan ini.
Karena itu, kita diperintah mendengarkan pesan hikmah nasehat darimana pun asalnya, dengan tidak melihat siapa yg mengungkapkannya.
Juga dilarang berta’asub (semakna: sendiko dawuh) pada update status ini.
Ingat: orang yg beruntung adalah yang mampu mengambil pesan hikmah dari sesamanya. Sekalipun berbeda keyakinan dengannya.
Terus, bagaimana memberlakukan pada informasinya, dan atau yang memberi informasi?
Penyaring utama atas informasi yang masuk adalah akal nalar rasional. Sekiranya, dapat ditangkap dengan rasional sehat, bisa disimpan di memori otak. Sekiranya diluar jangkauan rasional, maka ditinggal saja.
Sedang memberlakukan diri pada yang memberi informasi, setidaknya dibedakan menjadi 3 cara.
Pertama, bila yang memberi informasi sudah terbiasa kurang akurat, atau ada indikasi guyonan, maka bisa dilewatkan. Dengan catatan tetap memfilter nilai rasional dari informasinya.
Kedua, bila yang memberi informasi adalah relatif akurat benarnya (tidak pernah bohong), atau kaum berilmu (ilmuwan), maka bisa dipegang informasinya, dengan tetap memegang nilai rasional.
Atau bahkan yang memberi informasi tidak pernah didengar sebelumnya, juga bukan golongan yang berilmu, namun informasinya sangat rasional, maka selayaknya tetap dipegang.
Sebagaimana hadits : undur ma qola, wala tandur manqola.
Juga hadits lain : sekiranya anjing itu menyuarakan informasi kebenaran, maka dengarkanlah.
Ketiga, bila yang memberi informasi adalah Khalifah/Wakil/Rasul-Nya, maka mesti berlaku bagaikan malaikat yang patuh sujud dihadapan Adam.
Meyakininya adalah sebagaimana pasrah totalnya orang buta yg berjalan di tepi jurang, yg pasrah bongkokan pada yg menuntunnya (guru spiritualnya). Tidak beda pendapat sedikitpun. Sebab ketika beda pendapat sedikitpun, apalagi ngendelke ide pengalaman keyakinannya, pasti akan kejegur jurang.
Bisa pasrah secara total memang butuh pelatihan dan penggodokan diri dari berbagai was-was tipuan nafsu godaan setan yg biasa bersembunyi, dibarengi dengan jihadul akbar.
Karena itu fungsi otak/pikiran adalah sebagai jendelanya hati, perlu dan harus dipecah diolah difungsimaksimalkan. Semisal kalau biasanya hanya mampu melihat suatu permasalahan dengan satu dua sudut pandang, maka perlu dilatih difungsikan agar mampu menggagas menalar sedikitnya 360 sudut pandang (dalil jari-jari lingkaran).
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.