TIDAK MENGHARAP SURGA?
Posted By Roni Djamaloeddin on March 17, 2020
Banyak dari kalangan sufi dumay yg mengatakan tidak mengharap surga dan tidak takut neraka.
Apa yang menjadi dasarnya..?
=====================================
Pemahaman pengalaman saya, perihal jagad batinnya para sufi :
1. Surga neraka adalah bukan Tuhan. Karenanya bukan dijadikan tujuan hidup. Andai benar-benar ditampakkan dihadapan mereka, maka akan berusaha keras menafikannya. Sebagaimana kisah perjalanan Nabi Saw saat Isro’ Mi’roj, dinampakkan dihadapan Beliau surga yang sesungguhnya. Kemudian beliau nafikan dari pandangan Beliau, seperti petunjuk arahan Guru Beliau.
Sedangkan tujuan hidup mereka para sufi adalah bertemu Sang Pemilik surga neraka. Bertemu di dalam kehidupan ini. Bukannya menanti setelah ajal tiba.
Anekdotnya, lucu sekali bila makhluk itu mengharap makhluk. Tak ubahnya jeruk makan jeruk.
2. Sesungguhnya yang dikatakan surga adalah suasana bertemunya hamba dengan Tuhannya. Wali Songo merumuskan “mak jenthit lolo lobah”. Bahasa Arabnya : innal jannata laqiya Robbaka.
Bukan bayang-bayang semu sebagaimana cipta angan-angannya manusia. Seperti misalnya : mandinya di kolam susu madu, selalu perawan walau dikumpuli berkali-kali, mendapatkan istri 70 bidadari, … dst-dsb.
3. Analogi sederhana surga, ibarat seseorang yg sejak kecil berpisah dengan orang tuanya. Maka yang dikatakan surga adalah saat si anak tersebut bertemu kembali dengan orang tuanya. Bahagianya luar biasa.
Karenanya tidak butuh oleh-oleh, jajan, ataupun pemberian/imbalan orang tuanya. Bertemu dengan selamat pada orang tuanya adalah segala-galanya.
4. Yang paling ditakuti adalah ketika Tuhan menjauh dari dirinya. Menjauh dari kehidupannya. Kemudian hidupnya terombang ambing dijajah dan dikuasai nafsunya sendiri. Sebab bilamana demikian, merugilah segala ibadahnya, segala jerih payah pengorbanan yang telah dilakukan.
5. Pengistilahan surga neraka yang ditangkap manusia pada umumnya, hanyalah sebagai iming-iming, sebagai umpan, atau pemicu. Agar di dalam menjalani ibadah mendekat pada Tuhannya lebih bersemangat lagi.
Persis seperti anak kecil yang diperintah orang tuanya. Perlu iming-iming permen atau hadiah agar mau menjalani perintah orang tuanya.
Kemudian ketika sudah dewasa masih saja mengharap imbalan permen atau hadiah ketika menjalankan perintah orang tuanya, maka layaklah bila disebut belum dewasa. Atau malah disebut berperingai wataknya anak-anak.
_____170320–belajar sadermo share pemahaman pengalaman dalam nderek nyengkuyung mbelo dan nyandar Guru (Romo Kyai Tanjung).
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.