TUHAN BERGANTUNG PADA RASUL?
Posted By Roni Djamaloeddin on May 24, 2011
Tuhan bergantung pada Rasul? Nampaknya sangat ironis. Ironisnya, Dia Yang Maha Segalanya, ternyata perlu Rasul (Khalifah, Utusan) hanya untuk “mulang wuruk” (membelajari) manusia–agar bisa pulang kembali pada asal-Nya. Padahal, ketika menciptakan jagad raya seisinya (termasuk menciptakan semua manusia), mengatur jutaan planet lengkap dengan peredarannya, sama sekali tidak memerlukan bantuan makhluk-Nya.
Tetapi, begitulah kenyataannya. Dibalik ke-Mahakuasa-Nya, ternyata memang “perlu” makhluk-Nya (semisal para Malaikat) mengerjakan tugas-tugas tertentu. Jibril, menyampaikan wahyu kepada manusia. Mikail, bertugas membagi rezki, dan seterusnya dan sebagainya. Padahal kalau Dia berkehendak, tanpa harus melibatkan makhluk-Nya, dapat mencukupi sendiri apa yang Dia kehendaki.
Demikian halnya dengan diberadakannya Rasul, tentunya ada alasan khusus yang mendasari. Dimana, alasan khusus tersebut sayangnya kurang mendapat perhatian (tafakkur yang mendalam) secara serius.
Sebab, bila direnungi secara khusyuk, dalam Al-Quran “sedikitnya” dijumpai 3 hal yang melatarbelakangi penurunannya. Walaupun sejatinya lebih dan bahkan sangat banyak alasan.
Pertama, Rasul sebagai juru kunci yang mengantarkan persaksian haqqul yakin pada ghaibnya Tuhan, yang selanjutnya disembah dan dijadikan tujuan kembali. “…Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu (manusia dan anak keturunannya) tentang Al-Ghaib (Dzat/Wujud Tuhan), akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya dari (dengan cara melalui) Rasul-Nya…” ( QS 3:179).
Jelasnya, Tuhan sama sekali tidak akan “ngejawantah” (menampakkan Diri) pada permukaan bumi manusia. Sebagaimana kisah yang ditunjukkan pada Nabi Musa dalam rangka meyakini Wujud Tuhan. Namun, Dia hanya akan menunjukkan Jati Diri Al-GhaybNya kepada hamba yang “dipilih”-Nya sendiri. Dimana, cara menunjukkannya dengan cara melalui utusan-Nya (Rasul).
Implikasinya, Rasul-Nya lah yang dipercaya sepenuhnya menunjukkan Jati Diri Dzat-Nya. Dia Tuhan yang telah memproklamirkan Diri dengan “sebutan” Allah (Innani Ana Allah…) beserta 99 asma lainnya–bahkan sangat mungkin membuat jutaan nama lainnya. Selanjutnya, (setelah dapat mengenal Diri-Nya dengan haqqul yaqin) dijadikan pusat konsentrasi-nya hati nurani-roh-rasa, baik ketika berdiri duduk atau berbaring, baik ketika beribadah, maupun mengelola garapan dunia. Hingga akhirnya dijadikan satu-satunya “total target” (tujuan hidup) dalam menjalani ujian (kehidupan) dunia.
Kedua, “mereka (manusia umumnya) tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal” (QS 22:74). Padahal, ketika masih di alam fitrah–demikian Ibn Katsir menyebut–yaitu alam yang ketika itu masih berupa arwah dengan Dzat Tuhan, (arwah) semua manusia telah mengenal Dzat-Nya dengan seyakin-yakinnya mengenal. Hal itu terbukti dengan “berani” menjawab pertanyaan persaksian Tuhan : “Alastu Birabbikum?”, bukankah AKU ini Tuhanmu? dengan jawaban “Qaalu balaa syahidna”, benar Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi (QS 7:72).
Logikanya, namanya bersaksi pasti mengetahui persis apa yang dilihat (disaksikan). Sebab, bila (berani) bersaksi, tetapi tidak tahu persis apa yang telah disaksikan (dilihat), namanya bersaksi yang palsu. Sementara kenyataan sekarang, yang dikenal hanya sebatas nama/istilah/sebutan. Padahal nama/istilah/sebutan tersebut tidak akan pernah sama dengan wujud/zatnya. Air misalnya, wujudnya yaa seperti itu, tetapi tidak akan pernah sama dengan namanya. Sedangkan nama zatnya, bisa berlainan (H2O, water, banyu, zat/materi yang berwujud cair dsb).
Oleh karena nyatanya manusia tidak sebaik-baiknya mengenal, Tuhan (dengan Maha Belas dan Kasihnya) berkenan menurunkan Rasul/Utusan-Nya. “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia” (QS. 22:75), agar memperkenalkan kembali Wujud/Dzat-Nya yang telah disaksikan manusia dahulu ketika masih di alam arwah, untuk disembah dan dijadikan tempat kembali.
Ketiga, “pada diri Rasul terdapat suri teladan yang baik, bagi yang mengharapkan rahmat Allah dan hari kiyamat” (QS. 33:21, QS. 60:6). Implementasinya, “hanya” pada Rasul-lah terdapat “teladan” yang baik bagi yang mengharap rahmat Allah, baik ketika masih berada di dunia apalagi nanti di akherat kelak. Hanya melalui Rasul pula kesanggupan menerima dan menjalankan “amanah” dari Tuhan dapat direalisasikan. Selain diri Rasul, tidak ada rekomendasi/jaminan dari-Nya untuk diteladani kemuliaan dan kesempurnaannya, walaupun pada mereka semua dapat diserap sari pati hikmah kebaikannya.
Perspektif Logika
Ditinjau dari sisi logika, alasan logis yang mendasari diturunkannya para Rasul-Nya, pertama, atas dasar kehendak Mutlak Yang Maha Kuasa. Kehendak mutlak Tuhan ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun makhluk-Nya, sekalipun makhluk yang paling mulia disisi-Nya (Malaikat). Seperti misalnya kehendak Tuhan mengutus para Malaikat menduduki/menjalankan “tugas” tertentu.
Kedua, keberadaan Rasul bagaikan seorang “Guru” yang memintarkan murid. Diakui/disadari atau tidak, semua manusia bisa membaca menulis berpikir adalah karena telah ”berguru”. Seseorang mampu menerbangkan F-16, karena guru (instruktur/pelatih) pula. Ingin terbang ke Pluto, (walaupun nampaknya mustahil) tidak akan terjadi tanpa guru. Bisa bertemu (apalagi akrab) dengan Jin misalnya, tidak mungkin tanpa guru. Ingin mengadakan “lobi” dengan malaikat Ridwan, tampaknya “mustahil” terjadi. Padahal antara manusia dengan malaikat Ridwan adalah sama-sama makhluk Tuhan, tetapi ternyata tidak mungkin terjadi. Sebab sejauh belum pernah ada cerita (baik di Al Quran maupun berbagai hadits) yang menyatakan demikian. Apalagi ingin bertemu kembali kepada Tuhan (Ilaihi Raji’uuna) sebagai tujuan “hakiki”, kiranya pula, sangat tidak mungkin terjadi tanpa menghadirkan “guru” yang berfungsi sebagai Rasul-Nya.
Integrasi Al Quran dan Logika
Latar belakang yang mendasari diturunkannya para Rasul-Nya, dapat diestimasikan :
Pertama, Rasul ditugasi mengajak sekaligus mengantar umat manusia berjalan kembali menuju Tuhan. Bilamana yang diajak tidak mau, apalagi sampai menentang dan memusuhi Rasul-Nya, maka sepantasnyalah bila kemudian dihancurkan sendiri oleh penciptanya. Seperti kisah umat-umat terdahulu yang tidak mau mengakui, mengikuti, dan bahkan menghina melecehkan seruan Rasul-Nya (Kaum Aad, kaum Nuh, kaum Tsamud dsb).
Kedua, Tuhan menunjukkan Maha Belas Kasih kepada hamba-Nya. Mestinya (kiranya), dengan kesanggupannya menerima amanah, manusia dibiarkan begitu saja bergelimang dengan ujian (dunia) masing-masing. Tetapi nyatanya tidak demikian, Tuhan menunjukkan Maha Pengampunnya, dengan Maha Pemurah lagi Maha Penyayangnya masih “kersa” menunjukkan “cara” bertemu lagi dengan Diri-Nya, dengan mengutus para Rasul-Nya.
Ketiga, dengan diutusnya Rasul pertama (Nabi Adam), ternyata tidak menjadikan manusia menyadari bagaimana seharusnya berjalan kembali kepada Tuhan, yaitu dengan Itba’ sepenuhnya kepada Rasul-Nya, sebagaimana halnya para Malaikat patuh dan sujud kepada Khalifah-Nya. Melainkan wataknya yang suka membuat kerusakan dan pertumpahan darah (peritiwa Qabil dan Habil) masih saja tetap adanya. Begitu pula ketika periode rasul-rasul sesudahnya sampai kerasulan Nabi SAW, bahkan hingga sampai sekarang.
Keempat, Rasul yang berjenis Malaikat hanya dikhususkan kepada hamba kinasih-Nya (para Rasul dan Nabi-Nya, misal : Kisah Nabi Dawud, Nabi Isa, Nabi Muhammad dsb). Sedangkan Rasul Tuhan yang diberikan kepada manusia pada umumnya, berupa/berjenis layaknya manusia pada umumnya pula, “..tetapi Tuhan memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki ” (QS. 14:11).
Kelima, Rasul sebagai “guide” (penunjuk jalan), pembimbing, sekaligus pelatih (sebagaimana halnya pelatih tim kesebelasan sepak bola) agar bisa bertemu lagi dengan-Nya. Yang menentukan berhasil tidaknya di akherat kelak (bertemu Tuhan Lagi, ilaa rabbiha nadzirah) adalah masing-masing diri itu sendiri, bukanlah Rasul. Seperti ketika Jibril membimbing Muhammad dalam perjalanan menghadap (bertemu) Tuhan, hanya membimbing sampai “pintu”. Selanjutnya manusianya sendiri yang menentukan bertemu/tidaknya dengan Tuhan.
Kesimpulan
Ketiga perspektif di atas, kiranya, merupakan alasan yang sangat kuat bila Tuhan akhirnya menegaskan : …dan Rasul-Nya pun selalu berada di tengah-tengah kamu..” (QS. Ali Imran: 101). Dan di ayat lain “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu…” (QS. An Nisa’: 170).
“Kamu” yang dalam arti luas : nenek moyang kita dulu, kita-kita sekarang, anak cucu, dan semua spesies manusia tanpa kecuali sampai kiyamat nanti. Bukan “kamu” yang menyaksikan jiwa raga Muhammad SAW saja, karena bila diartikan demikian, logikanya, Al Quran “tidak cocok” lagi untuk “kamu” yang sekarang (kita) dan “kamu-kamu” yang seterusnya (anak cucu, cicit, dst).
Asumsi pemikir dan budayawan muslim modern dari Libanon, Hasan Sho’ub (1997 : 173) dalam bukunya “Islam dan Revolusi Pemikiran” yang menyatakan “setiap muslim adalah Rasul”, selayaknya ditinjau ulang kembali.
Walhasil, manusia diwajibkan berusaha–termasuk didalamnya belajar bertafakkur mencari ilmu sampai ke negeri Cina, bahkan ke penjuru jagad dunia–Tuhanlah yang nantinya menentukan keputusan-Nya. Kebenaran tetap ada pada-Nya, mutlak menjadi milik-Nya, Al haqqu min Rabbika. Sedang pada dataran hamba yang ada hanyalah tempat salah dan lupa. Zaluuman jahuula (QS.33:72). Wataknya melebihi batas (QS.25:21, QS.43:5, QS 5:32). Wallahu a’lamu bishshawab, wa ana mahalul khatha’ wa nisyan.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.