MEMASUKI DUNIA GAIB
Posted By Roni Djamaloeddin on March 31, 2010
Sisi yang Tertinggi dari Buku “Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik”, Karya Jalaluddin Rakhmat
SETELAH mencermati buku Kang Jalal, Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik, menurut saya buku tersebut hanya menyajikan satu wacana kegaiban, yaitu kegaiban yang berhubungan dengan Zat Tuhan-beserta segenap “tata-cara” membuka tirainya. Sementara kenyataannya, ada dunia gaib lain yang “seharusnya” dimengerti dan dipahami. Di mana, kebanyakan orang tertipu dan terjebak olehnya, yang seharusnya dinafikan (ditiadakan, bukan disenangi dan bukan pula dijadikan tujuan hidup).
Dalam kamus bahasa Indonesia alam gaib artinya dunia gaib yang tidak kelihatan yang berada di luar jangkauan manusia. Alam ini substansi fisiknya tidak/belum dapat ditangkap oleh akal manusia. Bahkan, hingga saat ini belum ada pengetahuan maupun alat canggih yang dapat mendeteksi/merekam keberadaannya secara pasti.
Tetapi sebenarnya, keberadaannya dapat ditangkap oleh unsur jiwa raga yang namanya “rasa” (bahasa Arabnya Sirr). Buktinya, ketika bertemu bangsa jin dan lelembut (semisal gendruwo, pocongan, memedi, dan sebagainya), membuat bulu kuduk berdiri dan membawa perasaan takut. Itu artinya memang keberadaannya benar-benar ada, tetapi berada di luar indra manusia.
Perihal alam gaib ini, menurut sufisme-empirik (pengalaman selama menyelami sufistik) penulis, dan juga didasarkan pada tafsir “al-mahdi”, dapat dibedakan menjadi dua: al-Ghayb dan al-ghuyub.
Al-Ghayb adalah Zat Yang Ghayib, Wajib Wujud-Nya, Mutlak Ada-Nya, Allah asma-Nya, yang disebut hamba-Nya: Tuhan. Al-Ghayb inilah yang seharusnya diimani dan diyakini secara pasti, bukan kira-kira atau katanya-katanya, apalagi hanya duga-duga dari tempat yang jauh.
Keberadaan-Nya lebih dekat bila dibandingkan dengan otot leher hamba-Nya. Seharusnya pula dapat diyakini dengan pasti, baik ketika menyatakan kesaksian keberadaan Wujud Tuhan (mengucap kalimat syahadat) maupun ketika menyembah-Nya, “… maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku” (Q.S. 20:14).
Sementara itu, al-ghuyub adalah bangsa gaib yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia. Bangsa ini kedudukannya sama dengan manusia umumnya sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Bedanya cuma tidak dapat dilihat dengan mata, di samping punya kelebihan/kekurangan dan fungsi tugas masing-masing. Dengan kata lain, al-ghuyub adalah bangsa gaib tetapi bukan gaibnya Wujud Tuhan. Mereka adalah surga, neraka, malaikat, jin, setan, leak, genderuwo, roh, dan lain sebagainya. Keberadaannya tidak perlu diimani/diyakini dengan pasti, melainkan sekadar dimengerti bahwa ada makhluk Tuhan yang tidak tampak oleh mata kepala, dan punya hubungan “tertentu” dengan manusia.
Pengetahuan tentang kedua bangsa gaib di atas merupakan modal utama yang harus dimengerti dan dipahami ketika seseorang berkemauan dunia sufistik, hal ini semata-mata berdasar pengalaman penulis. Keduanya harus diyakini dengan pasti, tidak bisa hanya duga-duga apalagi hanya diangan-angan dari tempat yang jauh. Alasannya, keduanya sangat menentukan kehidupan di dunia sekarang, apalagi kelak di hari kiamat.
Sebaliknya, bila “tlatah” (kedudukan) keduanya belum dapat dipastikan, bisa menjadi “fatal” akibatnya. Sunan Bonang dalam Suluk Wijil menyatakan sembahe siya-siya (bersembahnya tidak ada gunanya). Tidak sampai pada tujuan hakiki, illahi raajiuuna. Parahnya lagi, ketika mati yang pasti harus dijumpai nanti, bisa jadi pula tidak sampai kepada al-Ghayb Tuhan, melainkan terdampar (tersesat) di alam al-ghuyub.
Sebagai implementasinya, menjadi sikap yang sangat rasional bila menyamakan kedudukan Tuhan dengan ciptaan-Nya (hamba), yaitu menganggap Tuhan sama-sama “gaibnya” dengan jin setan genderuwo malaikat surga nereka yang “kebetulan” saja kasat mata (tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia). Mana mungkin dapat terjadi, gaibnya Sang Pencipta disamakan dengan gaibnya ciptaan-Nya sendiri?
Nyatanya, begitulah yang terjadi. Keduanya dianggap sama. Buktinya yukminuuna bi al-Ghaybi (Q.S. 2:3) diartikan “mereka yang beriman//percaya kepada yang gaib“. Semestinya (artinya) “mereka yang percaya/meyakini keberadaan Zat (Wujud) al-Ghayb (Yang Allah asma-Nya). Jadi implikasinya, yang seharusnya diimani dan diyakini dengan pasti adalah keberadaan Zat (Wujud) Tuhan, bukan semua perkara-perkara yang sifatnya gaib.
Memasuki dunia kegaiban
Sebagaimana pengetahuan lain pada umumnya, pengetahuan tentang al-Ghayb maupun tentang al-ghuyub, tentu saja ada “ahli” yang menguasai disiplin ilmunya. Sebagaimana telah disabdakan Nabi Muhammad saw., bila suatu perkara tidak ditanyakan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya.
Contoh kecilnya, seseorang ingin mengerti — apalagi akrab — dengan “tuyul” maka orang tersebut harus bertanya kepada ahli yang tahu persis tentang tuyul. Tidak bisa hanya dengan membayangkan maupun merekayasa berdasar ide pemikiran dan gagasan sendiri. Demikian pula tentang keberadaan a;-ghuyub yang lain dan al-Ghayb itu sendiri serta bagaimana cara mengenalinya, telah disediakan pula oleh Tuhan secara pasti siapa-siapa saja ahli dibidangnya.
Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Ali Imran ayat 179… Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu tentang al-Ghayb (Dzat/Wujud Tuhan), akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya dan Rasul-Nya. Ayat ini dengan jelas dapat disimak bahwa Dia (Zat Tuhan), tidak akan menempatkan Wujud Diri-Nya kepada semua manusia (untuk disembah dan dijadikan tempat tujuan kembali, raaji’uuna). Akan tetapi, Tuhan akan memilih hamba-hamba-Nya untuk bisa mengenal-Nya, di mana, cara (dapatnya) mengenali-Nya dari (melalui) rasul-Nya… Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dan malaikat dan dari manusia. (Q.S. 22:75).
Jelasnya, bagaimana bisa mengenali keberadaan wujud al-Ghayb Tuhan, satu-satunya cara adalah melalui Rasul-Nya. Tidak ada lagi cara lainnya. Oleh karena itu sangat tepat sekali bila diperintahkan pada ayat selanjutnya (masih aya 179) “… Karena itu, berimanlah kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya“. Dengan demikian “sangat rasional” pula kiranya bila Tuhan sendiri mempertanyakan keimanan hamba-Nya: “Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu (kamu dalam arti nenek moyang, kita semua, anak cucu, semua spesies manusia sampai kiamat). Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Q.S. 3:101).
Kemudian, bagaimana cara mengenali al-ghuyub? Jawabnya. bertanyalah kepada ahlinya. Ingin mengenali jin misalnya, bertanya kepada ahli (orang pintar) yang telah mengenal jin. Ingin berteman dengan genderuwo, bertanya pula kepada “orang pintar” yang tahu persis bagaimana caranya bertemu.
Tetapi dalam ini, ada hal yang impossible” (tidak mungkin) untuk ukuran manusia lumrah. Misalnya ingin mengenal malaikat surga neraka, yang sanggup/bisa melakukannya hanya manusia “pilihan” Tuhan. Sudah barang tentu, dapatnya mengenali melalui “hamba” yang ahli di bidangnya yang sekaligus berfungsi sebagai utusan-Nya. Seperti al-kisah Nabi Muhammad saw. yang telah dimengertikan keberadaan surga-neraka malaikat dan roh para nabi terdahulu, dengan terlebih dahulu “berguru” kepada utusan Tuhan (malaikat Jibril).
Terus masalahnya, bagaimana dapat menemukan kedua ahli (ahli al-Ghayb dan ahli-al-ghuyub) di atas yang selanjutnya berguru sepenuhnya kepadanya? Di sinilah kiranya letak rahasia perintah Nabi Muhammad saw.: “carilah ilmu walau sampai di negeri Cina“. Perintah tersebut, logikanya, dapat diimplementasikan menjadi “carilah ilmu sampai ke penjuru dunia, senyampang hayat masih dikandung badan“. Tentu, di sana “pasti” akan ditemukan karena memang sudah di-“sabda” utusan-Nya. Sementara itu, bila tidak ditanyakan kepada ahlinya, “sabda” rasul-Nya, tunggulah kehancurannya.
Dengan demikian kesimpulannya, membuka tirai kegaiban, khususnya al-Ghayb Zat Tuhan, syarat mutlaknya dengan terlebih dahulu bertanya kepada Rasul-Nya yang selalu berada di tengah-tengah “kamu” (spesies manusia). Selanjutnya mengerjakan semua petunjuk tuntutan yang telah diberikan sesuai dengan tingkat mampu masing-masing, sebagaimana halnya mayat yang pasrah bongkokan di hadapan yang memandikan. Jadi, menjadi wewenang-Nya semata yang akan memberikan rahmat dan fadhal-Nya, membuka segala rahasia-rahasia kegaiban kekuasaan-Nya (semisal dimengertikan surga, neraka, malaikat, dan sebagainya), sebagaimana halnya yang terjadi pada para kekasih-Nya (wali dan nabi). Karena memang “….. (hanya) pada diri Rasul — dengan tidak menyebut nama-nama Rasul-Nya — terdapat suri teladan yang baik, bagi yang mengharapkan rahmat Allah dan hari kiamat” (Q.S. 33:21, Q.S. 60-6).
Sementara itu, membuka tirai kegaiban dari sesama makhluk-Nya, dengan cara bertanya kepada ahlinya yang tahu persis keberadaan al-ghuyub, kedudukannya sama halnya hamba-hamba yang lain (bukan Utusan-Nya). Tentu saja, dengan mengerjakan semua hal yang telah menjadi petunjuknya. Wallahu a’lam bi ash-shawab, wa ana makanul khatha’wa nisyan..
Catatan:
Tulisan ini dimuat harian PIKIRAN RAKYAT , hari Senin, 01 Desember 2003.
pencarian:
,cara masuk ke dunia lain,,cara memasuki dunia lain,,cara masuk dunia lain,,cara pergi ke dunia lainComments
One Response to “MEMASUKI DUNIA GAIB”
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.
saya sangat setuju atas artikel yang ustad roni buat…….!pokoknya mantaaaaaapppppppppppp……!
[Reply]