BIJAK MENYIKAPI (HASIL) UNAS

Posted By on April 24, 2010

Momok menakutkan yang namanya unas itu telah berlalu. Namun hawa angker dan seramnya masih menakutkan. Menyusul tinggal hitungan hari momen sakral itu diumumkan. Penentu siswa penempuh unas dinyatakan lulus atau tidak.

Rasa hati berdebar dan cemas tak karuan menyelimuti masa penantiannya. Sembari menunggu, berbagai ikhtiar dan doa tentu telah dilakukan demi satu-satunya harapan: lulus.

Lebih dari itu, lulus ataupun tidak dari sebuah unas adalah wajar. Ia merupakan konsekuensi sekaligus implikasi. Bila persiapan dan pengerjaannya sangat baik, tentu lulus ganjarannya. Tetapi bila sebaliknya, persiapan dan pengerjaannya tidak baik, tidak luluslah konsekuensinya.

Namun hukum konsekuensi-implikasi itu tidak sepenuhnya berlaku. Ada hukum lain yang ikut bicara dalam unas. Ada hukum al ‘ilmu “nurun”, hukum bantu membantu, hukum TST, hukum nasib, dan ada pula hukum “kabul”.

(Sebagaimana pengalaman penulis yang telah menerapkan hukum kabul. Mencoba percaya sepenuhnya ayat “berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan”. Dan ternyata memang berhasil terkabulkan. Walaupun kemampuan dan persiapan mengikuti ebtanas waktu itu [tahun 1989] kurang dari 10%, hasilnya lumayan bagus. Di atas rata-rata.)

Di balik unas, terpotensi efek kejut sesaat yang cukup signifikan.Yang lulus sangat gembira. Sebagian meluapkan dalam perilaku berlebihan. Corat-coret yang tiada manfaat, konvoi yang relatif “urakan”, atau mabuk-mabukan yang membahayakan diri dan orang lain.

Sedang yang tidak lulus, susah teramat sangat. Tidak jarang mengalami depresi berat bahkan ada yang sampai mengakhiri hidup. Ada pula yang menggugat diknas sebagai penyelenggara unas, yang notabene “penguasa” pendidikan.

Sementara efek utama sebuah kelulusan kadang terlupakan. Belum terimbangi dengan persiapan dan perencanaan yang matang. Hanya sebagian kecil yang telah menyiapkan planning yang baik pasca kelulusan. Yang banyak justru belum punya rencana sama sekali.

Yang memprihatinkan adalah efek utama ketidaklulusan. Ini belum terpikirkan sama sekali. Sehingga persiapannya nol besar. Mulai dari para guru, orang tua, apalagi si siswa sendiri. Kesemuanya tidak punya “kuda-kuda” yang tangguh menghadapinya.

Sehingga, ketika dinyatakan tidak lulus, yang terjadi adalah pelampiasan efek kejut sesaat di atas. Dunia seakan gelap gulita. Tidak ada ceritanya nglenggono, sabar, nrimo ing nasib, apalagi instrospeksi diri secara mendalam.

Begitu tragisnya efek kejut sesaat dan naifnya efek utama dari peristiwa unas tersebut menggambarkan betapa rapuhnya “jiwa bijak” para pelaku unas. Mudah terombang ambing keadaan. Pada ujungnya, terlahap nafsu pongah yang dengan entengnya kritik sana kritik sini, salahkan sana salahkan sini, tanpa memberikan masukan penyelesaian yang berarti.

Stakeholder di sekelilingnya pun juga demikian. Mulai dari orang tua, komite sekolah, tokoh masyarakat, dewan pendidikan, bahkan pejabat dinas terkait ikut terkena imbasnya. Terseret arus kekhawatiran yang mendalam bila para penempuh unas “wilayah kerja”-.nya menjadi korban ketidaklulusan.

Terlebih para guru beserta jajaran di sekolah, terlanda kecemasan yang akut. Karenanya tak heran bila diberitakan beberapa media massa, beberapa sekolah membentuk “tim siluman” yang membantu menggarapkan siswa. Demi mempertaruhkan kredibilitas/status sekolah, manajemennya, pandangan masyarakat, hingga guru mapel unas.

Para siswa dan orang tua juga demikian, saking cemasnya tidak sedikit yang memilih jalan pintas. Membeli kunci jawaban yang beredar secara sembunyi-sembunyi maupun yang terang-terangan. Atau memesan kunci jawaban pada oknum “orang dalam” tertentu, walau diragukan kebenarannya.

Kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi bila semua pihak yang terlibat didalamnya memahami dan menyikapi unas dengan bijaksana. Tidak keburu apalagi termakan nafsu.

Walaupun disana sini banyak perdebatan perihal unas, biarlah mereka berlalu. Kita sebagai “kawulo alit” tidak usah dan tidak perlu ikut debat didalamnya. Toh andai urun rembug pun, tentu tak banyak berarti. Ibarat kicauan seekor emprit ditengah sekumpulan rajawali, tak mengefek sama sekali. Tiwas mubadzir, menghabiskan energi.

Yang perlu dibangun adalah budaya positif thinking bahwa orang-orang pintar di atas sana “pasti” memikirkan langkah terbaik memajukan pendidikan nasional. Bukan memikirkan daerah per daerah, apalagi per kelompok, per agama, per mahdzab dan sebagainya. Yang dipikirkan hanya satu : bangkit dari keterpurukan sebagai negara yang sistem pendidikannya sangat buruk.

Selain itu, perlu dibangun dan dibiasakan wisdom thinking (berpikir bijak) pada diri kita. Apapun profesi, kedudukan, maupun tugas masing-masing.

Sebagai siswa, perlu menyadari bahwa unas adalah salah satu tahapan dalam belajar. Tahapan lain masih setia menanti. Andai “terpaksa” gagal (tidak lulus), segera bangkit perbaiki. Sadari bila masih kurang serius dalam belajar. Masih kurang percaya pada diri sendiri, sehingga “terbiasa” menggantungkan bantuan jawaban orang lain. Tidak perlu menyalahkan yang lain, termasuk menyalahkan “sms sakti” ataupun “bisikan wangsit”.

Unas bukanlah segala-galanya. Lulus bukanlah puncak kesenangan. Tidak lulus juga bukanlah “kecemplung neraka”. Karenanya tak perlu dibesar-besarkan. Anggap saja roda mobil (kehidupan) yang sedang berjalan. Kadang sengsara ada di bawah, kadang mulia ada di atas. Lulus tidak lulus merupakan fenomena yang harus dijalani setiap siswa.

Sebagai guru, unas merupakan gerbang akhir mengantar siswa didik ke jenjang lebih tinggi. Kewajiban guru mengantar mereka bisa melewati pintu tersebut. Berbagai kiat, strategi, model pembelajaran, maupun metode memahamkan materi, perlu selalu di-update dan dikembangkan mengikuti dunia pikiran siswa. Tentunya pengalaman belajar yang dahulu ditempuh belum tentu cocok diterapkan pada siswa sekarang.

Selain itu, guru perlu membekali kiat-kiat mengambil pilihan/keputusan yang tepat. Melatihkan sikap berani mengambil resiko, baik resiko yang terbaik ataupun yang terburuk. Melatihkan berpikir “pasca” dari sebuah keputusan. Mencermati segala kemungkinan yang terjadi dibalik keputusan yang akan diambil. Sehingga ketika siswa dinyatakan tidak lulus misalnya, mentalnya sudah siap dan tidak mudah gonjang ganjing.

Guru perlu pula membekali mental siswa dengan pendidikan “rekoso”. Seperti halnya pengalaman kita waktu kecil dulu, yang banyak mengalami pendidikan rekoso dari orang tua maupun sekolah. Walaupun pembekalannya tak seberat yang kita alami, minimal dikenalkan bahwa “berakit-rakit ke hulu” itu sangat perlu dalam kehidupan. Termasuk membekali mental tegar bila seandainya memang tidak lulus.

Sebagai orang tua, unas memang menjadi titik keprihatinan selama tiga tahun menyekolahkan anak. Dorongan dan penguatan mental yang intensif sangat diperlukan. Lebih utama dibarengi doa yang serius. Syukur menambah ibadah lain semacam puasa, sholat malam, dan membaca shalawat nariyah.

Hal-hal mulia tersebut perlu dikenalkan dan dilatihkan pada anak. Sesuatu yang penting memang menuntut rialat dan lakon khusus agar memperoleh kemenangan. Sebagaimana yang diajarkan mbah-mbah kita dulu ketika menghadapi situasi yang gawat dan sulit.

Orang tua juga perlu berlapang dada atas hasil unas yang diterima anak, lulus ataukah tidak. Bersamaan itu pula mendidik dan mengarahkan anak untuk bersikap demikian. Mumpung ada momen yang sangat berharga, rugi besar bila melewatkannya. Sebab pendidikan lapang dada seperti ini tidak akan pernah ada di sekolah, kecuali orang tua sendiri yang melakukannya.

Perlu pula membekalkan bahwa orang yang pandai dan cerdas itu belum tentu bijak. Namun orang yang bijak itu tidak sulit untuk menuju pandai dan cerdas. Selamat merenungi!

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.