GANTI ISTILAH MATI dengan KUNDUR (PULANG)
Posted By Roni Djamaloeddin on May 24, 2013
Mati, adalah istilah untuk jasad/raga yang tidak lagi kanggonan roh. Bisa pula diartikan jasad/raga yang habis masa pakainya di dunia.
Namun roh (yang didalamnya lagi ada sirr [rasa=unsur dasar/utamanya manusia]), tidak akan pernah mati ketika jasad yang jadi kendaraannya mati. Rasa inilah yang pulang ke alam asalnya (asalnya dari Tuhan, pulang kembali kepada-Nya lagi).
Karena itu, kewajiban yang paling wajib hamba adalah mengenal kembali asal muasalnya sendiri (sangkan paraning dumadi), min rasul.
Sehingga ketika pulang nanti (kundur), sebentar lagi (sekarang ini masih mampir ngombe), tidak kesasar/terdampar di alam penasaran (alamnya jin, syetan, iblis, demit, dan sebangsanya). Karena rasa (hatinya) telah mengerti dan dibelajari tentang berbagai alam-alam kegaiban, dan mampu membedakannya dengan pasti sehingga wa bil-akhirotihum yuuqinun.
Karena itu, yu’minuuna bi Al-Ghaibi itu adalah weruhnya hati (nurani, beserta roh, hingga rasa) akan Wujud Gaibnya Tuhan. Percaya yang didasari pada penyaksian (syahadah) langsung pada Obyek yang disaksikan/dilihat. Maka berimannya disebut iman yang ma’rifatun wa tashdiqun.
Kemudian dibarengi dengan laku syareat yang telah ditentukan, serta mendapat rahmat dan fadhal Tuhan, maka jalan pulangnya menjadi gamblang. Kundur dengan wajah yang berseri2, ilaa Rabbiha naadhiroh. Menuju Tuhannya dengan pasti, karena telah pasti pula proses yang dijalani. Hingga wa’bud Rabbaka-nya yakin dan pasti.
Sayang sekali.
Kebanyakan akal pikiran itu tak berdaya oleh lembutnya pasukan (perangkap, jolo sutro) sanubari. Lebih naif lagi bila akal pikiran belum mampu membedakan mana-mana pasukan/tentara sanubari dan mana-mana pasukan/tentara nurani.
Hingga karenanya, tugas mulianya yg mestinya bisa menggagas tuntas sampai kandasing kandas semua masalah (termasuk dalam menentukan jalan pilihan yg tembus akherat), termutilasi oleh berbagai selera ego pengakuan dan gengsinya.
Pengalaman mereka yang peteng dhedhet dan bermuram durja menjelang kepulangannya, tidak mampu menculek dan menyadarkan nuraninya.
Terlebih dalam membedakan perkara yang siliring nafsu maupun yang siliring qudrat, tak mampu sama sekali, NOl besar. Karena memang belum berlatih keras dan serius menyelaminya–apalagi sampai dikokohkan dan disokehkan Gurunya.
Sayang sekali..
Kebanyakan rasa (pangrasa, perasaan) itu terhenti pada maqam puas dan bangga pada selera murahan rendahan. Puas pada pengikutan, penyukaan, maupun pilihan. Tidak mampu menghayati (apalagi merasakan) tugasnya yang hakiki: menghadap Wajah Ilahi dimanapun berada (merasa-rasakan Wujud Abadi Yang Suwiji). Terlena terpedaya terjebak dalam berbagai macam kenikmatannya, syahwatnya, seleranya, maupun orgasmenya.
Karena rasanya masih ngambah di jagad pemikiran yang penuh ketidakpastian, maka Kundur/Pulang (mati) ke asalnya, yang mestinya sangat indah bahagia dan nikmat di atas segala-galanya, berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Maka dari itu, perlu membudayakan istilah Kundur/Pulang ke asalnya diciptakan. Menggantikan istilah “mati” yang selama ini telah terbudaya. Sekaligus memotivasi diri agar persiapannya lebih sempurna. Semoga.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.