Mengembangkan Ilmu : Belajar Berkorban

Posted By on March 5, 2010

Telah jelas dipahami bahwa keutamaan ilmu itu banyak sekali. Menjadikan pemiliknya “bernilai” dan lebih bermartabat. Mengawal dan menjaga dari kehancuran. Pusaka yang ampuh dalam segala medan. Dan masih banyak keutamaan lain.

Namun ada yang cukup istimewa, sanggup memadamkan api yang menjadi wilayah kerja pemadaman ibadah-ibadah lain di alam kubur kelak. Sebagaimana fatwa Imam Ali: ”jika mayat seseorang telah diletakkan di dalam kuburnya, maka muncullah empat api. Lalu datanglah sholat (yang biasa dikerjakannya), maka ia memadamkan satu api. Lalu datanglah puasa, maka ia memadamkan api kedua. Lalu datanglah sedekah, maka ia memadamkan api yang ketiga. Lalu datanglah ilmu, maka ia memadamkan api yang keempat seraya berkata: seandainya aku menjumpai api-api itu, niscaya akan aku padamkan semuanya. Oleh karena itu bergemberilah kamu. Aku senantiasa bersamamu, dan engkau tidak pernah melihat kesengsaraan”.

Fatwa ini menegaskan bahwa semua ilmu yang telah kita pelajari, sanggup menggantikan tugas ibadah-ibadah lain. Mengapa? Bila ditelaah lebih lanjut, sholat yang benar memang ada ilmunya. Ilmu tentang sholat. Tanpa disertai pemahaman ilmu sholat yang benar, tentu sholatnya tidak sesuai dengan syarat rukunnya. Akibatnya, ibadah bisa jadi tidak diterima disisi-Nya.

Demikian pula perihal puasa, sedekah, muamalah, korban, haji, maupun ibadah-ibadah lain, kesemuanya ada ilmunya. Ada teori yang mendasarinya. Ada aturan khusus yang mengaturnya. Tidak boleh sembarangan, reka-reka sendiri, ataupun karena anut grubyuk. Ia perlu dipelajari dengan baik, agar beribadahnya diterima oleh-Nya.

Di sisi lain, ketika ilmu-ilmu tersebut dipelajari dengan baik, maka di akherat kelak, sang ilmu yang telah dipelajari tersebut, akan setia menemani sang pembelajarnya. Akan senantiasa bersamanya. Menjadi teman yang menggembirakan, serta membebaskan dari kesengsaraan.

Demikian halnya menjelang datangnya bulan besar, atau bulan haji, atau bulan korban yang akan datang. Perlu antisipasi yang baik kehadirannya. Perlu mengembangkan keilmuan, pemikiran, dan pemahaman seputar korban, maupun “ubo rampe”-nya. Walaupun, mungkin, belum mampu menunaikan ibadah Haji, atau menyembelih binatang korban, minimal ada pemahaman dan pengembangan makna baru perihalnya.

Pengembangan keilmuan serta pemahaman yang perlu dipersiapkan, diantaranya; pertama, memahami dan mengembangkan definisi-makna korban.

Secara leksikal (makna kamus), korban didefinisikan pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya. Definisi ini bisa dikembangkan menjadi ”kangelan-nya jiwa raga melepaskan kesenangan/kecintaan/kepemilikan pada sesuatu yang dimiliki”. Melepaskan akon-akon yang menempel pada diri. Sedikit demi sedikit, apapun yang dimiliki, dilepas rasa memilikinya. Oleh karenanya, harta benda pun bisa dikorbankan.

Tetapi kenyataan sekarang, korban identik dengan penyembelihan binatang. Selain binatang, kurang “afdhol” bila dikorbankan. Pemahaman seperti ini perlu diperluas dan dikembangkan maknanya. Semisal obyeknya, mengapa berwujud binatang.

Binatang adalah simbul nafsu bangsa hewan. Nafsu ini pekerjaannya hanya memburu dan memenuhi nikmatnya makan dan sahwat. Nafsu seperti ini harus diperangi, dikorbankan dari dada, bahkan disembelih. Jadi bukan semata-mata binatangnya yang perlu disembelih, melainkan nafsu bangsa hewannya.

Namun bilamana belum mampu berkorban yang berupa binatang sebagaimana yang disyaratkan, maka harta yang dimiliki bisa dikorbankan. Mengingat definisi korban yang tidak mensyaratkan wujud binatangnya, melainkan kecintaan/kesenangan pada sesuatu yang diakunya.

Kedua, waktu berkorban. Korban yang berupa binatang, waktunya telah ditetapkan. Yaitu di seputar hari raya Idul Qurban. Tapi korban yang berupa harta benda, bisa dilakukan sewaktu-waktu. Misalnya, suatu ketika lagi mood berkorbankan harta. Maka saat itu juga bisa dilakukan. Oleh karena itu, berbagai bentuk amal harta, baik shodaqoh, waqof, jariyah, dan sejenisnya, hakekatnya adalah korban pula. Korban harta.

Ketiga, pengembangannya. Selain korban harta, ada korban lain yang sifatnya non harta. Ada korban harga diri, korban pengakuan, korban perasaan, dan lain sebagainya.

Korban harga diri adalah mengorbankan nilai-nilai diri yang biasanya dipatok dengan nilai tertentu. Misalnya kaum bangsawan yang hanya mau bergaul dengan sesama bangsawan. Kaum ini perlu mengorbankan harga dirinya, sehingga mau bergaul dengan non bangsawan. Mau menyadari bahwa sesama hamba punya kedudukan yang sama dihadapan Tuhan.

Karenanya harus menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya. Tidak boleh terkastakan oleh harta, jabatan, kedudukan, nasab, warna darah, dan sebagainya. Yang membedakan hanyalah tingkat keimanan dan ketaqwaan masing-masing. Korban harga diri ini tentunya bisa diperluas lagi makna dan penerapannya.

Berikutnya, korban pengakuan. Adalah mengorbankan segala bentuk pengakuan, baik pengakuan kebisaan, kepandaian, kekuasaan, dan berbagai macam ke-rumangsa-an lainnya, menjadi tidak diaku.

Jelasnya, ketika merasa bisa atas sesuatu pekerjaan/perkara, perasaan bisa tersebut dikorbankan untuk merasa tidak bisa. Walaupun secara lahir memang bisa sesungguhnya, bahkan profesional, tetapi secara batin dikorbankan dengan melatih (mengaku) merasa tidak bisa. Demikian halnya pengakuan-pengakuan yang lain, kesemuanya perlu dilatih untuk dikorbankan.

Berikutnya lagi adalah korban perasaan. Adalah mengorbankan perasan-perasaan negatif yang bersumber dari hati sanubari, menuju perasaan perasan yang positif, sejuk, lapang, serta pemaaf. Misalnya, perasaan mudah emosi, salah paham, suudzon, maupun perasaan negatif lainnya. Perasaan perasaan ini perlu dikorbankan, sehingga menjadi perasaan yang mudah memaafkan, gampang nglenggono, baik sangka pada sesama dan seterusnya.

Berbagai macam bentuk korban di atas, baik yang berupa korban binatang, korban harta, maupun korban yang non harta (meliputi korban harga diri, korban pengakuan, dan korban perasaan), perlu dipahami dengan baik. Selanjutnya dicoba untuk mengamalkan, setingkat mampu masing-masing, walau sangat sedikit. Semisal hanya seratus perak, perlu berlatih melakukannya. Sebab, sebagaimana “hukum berlatih” semakin banyak berlatih, akan semakin baik hasilnya, adalah sangat benar adanya.

Itu semua bagian dari ilmu. Ilmu pengetahuan, yang kemudian bisa berubah menjadi ilmu pemahaman. Pada saatnya nanti, bisa berubah menjadi ilmu keyakinan. Hingga menjadikan iman dan taqwa kita meningkat beberapa derajad disisi-Nya.

Ilmu ilmu seperti inilah yang nantinya menjadi teman setia kita di akherat kelak. Akan selalu menemani, menghibur, dan menyenangkan. Serta menjauhkan kita dari kesengsaraan. Mumpung sekarang ada kesempatan yang berharga, sangat merugilah kiranya bila tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Belajar mencari ilmu, belajar mengembangkannya, belajar berkorban (meliputi berbagai variannya), dan terus belajar.

pencarian:

,korban perasaan,,mengembangkan ilmu

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

4 Responses to “Mengembangkan Ilmu : Belajar Berkorban”

  1. Totok Gunarto says:

    semoga terbit dan terbit lagi kajian-kajian menyejukkan ini Ust. Roni. (Bangkalan)

    [Reply]

    Roni Djamaloeddin Reply:

    Amin..Semoga selalu diberi kekuatan menulis lagi.. dan menulis lagi

    [Reply]

  2. Wid-Bandung says:

    Mas Ustadz Roni,
    Mak nyuss enak tur krasa bumbune. Kalau dianalogikan dgn hakekat kubur yg sebetulnya sekarang kita masing-masing ini sedang sakjane sedang berada didalam kuburan. Kuburan berupa jasad yang berasal dari saripati bumi berwujud jiwa raga lengkap dgn segala perangkatnya. Sehingga sebetulnya manusia jaman sekarang disamping dilengkapi segala hal yang bersifat serba bergerak spt tlp bergerak = mobile-phone,perpusatakaan keliling = mobile library dan yang paling top sebetulnya “mobile grave” atau kuburan yang bisa jalan-jalan. Neng nggone kuburan ning koq bisa udut mangan lan ngombe, duwe anak bojo barang.
    Nah kaitan dengan ngelmu dan mlebu kuburan serba gerak dan mobile ini mungkin empat macam api sebagaimana hikmah Imam Ali tadi akan dapat lebih dipahamkan dan lebih nyata membumi dgn proses belajar paham ilmu dan api, dan lebih josss…. lagi Paklik.

    [Reply]

  3. Satriyo says:

    Mas Rony
    sipp bgt bahasannya penuh arti yang dalam banget.

    [Reply]

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.