BELAJAR TOPO

Posted By on April 3, 2020

Jaman kewaliyan dulu, toponya (bertapanya) memang ngalas. Bertapa ditengah hutan gung liwang liwung dalam rangka membeningkan hati musning maring Gusti. Juga dalam rangka mengeluarkan segala kadonyan dari hatinurani roh hingga rasa, agar kelet dg Wujud Yang Maha Sampurno.

Namun jaman sekarang, istilah sufinya jaman kemahdian, bertapanya tidak di hutan lagi. Tapi ditengah-tengah praja, di tengah-tengah supermall, di dalam turnamen, di tengah sekarat kritisnya jagad politik, di tengah bobroknya moral jaman, …dst-dsb.

Realisasinya?

  1. Ketika memegang piala, hati nuraninya tidak ikut memegang piala. Hati nurani memblock extra rapet kridanya smash-spin-thor hati sanubari. Dg selalu gondelan kenceng ilmu dzikir, yaa isinya Dzikir.
  2. Niatannya menjalani mengikuti musning ngibadah. Memahasucikan DiriNya. Bukan memburu materi ataupun immateri. Menambah lakon pitukon dalam mendekat kepada-Nya hingga sampai (jedug pada-Nya).
  3. Sambil menjalani aktifitas projo, atau belanja di supermall, atau turnamen, atau apapun jenis macamnya, sambil ngegazz pool hati nuraninya dalam mengingat2 isinya dzikir (ilmu dzikir).
  4. Ketika diperjalanan muncul riak2 materi atau immateri yg menggoda nurani, segera saya sadari dg baca istighfar sebanyak2nya. Ngrumangsani masih saking banyaknya salah dosa sembrono, masih kurangnya lakon pitukon, hingga belajar deple2 ngumawulo nelongso pada Dzat Yang Maha Sampurno (tidak pernah apes).

_____230419–refleksi duasatuapril dalam belajar istikomah nderek nyengkuyung mbelo dan nyandar Guru (Romo Kyai Tanjung).

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.