DI ATAS LANGIT
Posted By Roni Djamaloeddin on April 3, 2020
Di atas langit masih ada langit. Mutiara hikmah ini benar-benar realibel dalam keseharian. Buktinya, ketika kita jumpai sosok yang benar-benar “super” (bagaikan di langit), maka pada kesempatan lain “pasti” kita jumpai sosok yang lebih super lagi. Baik wawasan, kharisma, kecerdasan, kepenulisan, kehafidan, speed thinking, logika anilisis, atau apapun namanya.
Namun kenyataannya, mutiara luar biasa itu jarang disadari. Maksudnya, lemah dalam penerapannya. Buktinya, ketika kita jumpai sosok super tersebut di sekitar kita, maka langsung terkagum padanya. Linglung tak berdaya dibuatnya. Seolah tak pernah mendengar di atas langit masih ada langit.
Mengapa bisa terjadi? Salah satu alasannya, kurang mencermati secara bijak maksud perintah “carilah ilmu walau sampai ke negeri China”. Perintah ini pun sangat layak bila diterjemahpraktiskan “carilah ilmu walau sampai ke penjuru jagad dunia, walau sampai luar angkasa, sampai lintas planet”.
Tampaknya memang irrasional (tidak masuk akal) mengapa Nabi SAW yang membawa sekaligus mengajarkan “ngelmu sampurna”, tapi justru memerintahkan umatnya mencari ilmu sampai di luar wilayah Beliau.
Mengapa Nabi Saw tidak memberi perintah “serap dan selamilah ilmu yang ada pada diriku, hingga menjadikan dirimu mencapai sempurna?”.
Jadi, jelaslah bahwa Nabi SAW yang berderajad maksum (sempurna, terbebas dari segala kesalahan) pun mengakui ungkapan tersebut. Beliau tidak merasa sempurna. Beliau juga tidak mengharapkan “disembah” atau “didewakan” umat. Beliau malah memerintah mencari ilmu lain yang diluar Beliau ajarkan.
Peristiwa lain yang senada dengan mutiara hikmah di atas adalah pengalaman Nabi Musa. Beliau dipercaya Tuhan menjadi rasul/utusan-Nya. Sudah barang tentu, pengangkatan ini menandakan Beliau benar-benar luar biasa di “kelasnya”. Dilengkapi dengan pemberian mu’jizat yang luar biasa pula.
Tapi nyatanya, beliau diperintah untuk “berguru” pada Nabi Khidr–yang bukan rasul-Nya. Tentu derajad keilmuannya berada (mungkin jauh) dibawah Nabi Musa. Bukankah hal demikian sesuatu yang ironi, bagai “kebo nyusu gudel”?
Namun rupanya, ada rahasia besar dibalik itu. Nabi Musa pun “dipaksa” harus mengakui bila di atas langit masih ada langit.
Andai sekarang kita menjumpai Beliau-beliau (baik Nabi Musa, Nabi Muhammad, maupun manusia-manusia hebat lainnya) tentu kita pun terkagum-kagum dibuatnya. Lupa sama sekali bila di atas langit masih ada langit.
Sehingga, kita yang memakmum pun seyogianyalah bila itba sepenuhnya lahir batin. Praktisnya, ketika mampu “merasakan” Nabi SAW–berikut ajarannya–yang hebat luar biasa, ternyata oleh Beliau malah diperintah untuk mencari ilmu lain di luar diri Beliau.
Dan yang terpenting adalah mampu merasionalkan dan menginternalisasi mutiara hikmah “di atas langit” tersebut.
Diantaranya :
Pertama, kebenaran itu, bagaimana pun kenyataannya, dari mana pun asalnya, tetap milik Tuhan. Sehingga, karena menjadi milik-Nya, maka menjadi hak-Nya pula bila Tuhan menurunkan kebenaran-Nya melalui siapa pun yang Dia kehendaki. Termasuk pada yang bukan rasul-Nya.
Kedua, sebagai penyulek hati pikiran hamba bahwa Tuhan Maha Segala-galanya. Maka sak maunya sendiri bila Dia berkehendak menurunkan kebenarannya. Melalui siapapun hamba yang dipilihnya, tanpa tendensi nasab, golongan, suku, dan bahkan agama.
Ketiga, penguat keimanan, pemahaman, dan persepsi bahwa bagaimana pun hebat dan supernya hamba, yang hebat dan super sebenarnya adalah Tuhan sendiri. Manusia (hamba) itu hakekatnya tidak bisa apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Bagaikan buih yang kumampul ditengah gelombang samudra. Yang menggerakkan kesana kemari bukan buih itu sendiri, melainkan karena katut gelombangnya Yang Maha Kuasa.
Keempat, kita dilarang mengagumi (ta’asub) pada siapa pun. Namun yang layak dikagumi hanyalah Tuhan sendiri.
Kelima, sebagai sarana strategis dalam melaksanakan perintah “lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan”.
Keenam, …
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.