FILOSOFI WAYANG–DALANG
Posted By Roni Djamaloeddin on April 3, 2020
Rasanya ada dinding tipis yang menjadikan tidak sinkronnya konsep wayang–dalang : manusia adalah wayang dan Tuhan dalangnya. Yaitu ketika tingkat ekonomi kita yang begini2 saja, atau apapun “dep colot” kita yg juga begini2 saja, atau bahkan ketika iman taqwa kita yg juga “begini” saja, kemudian mengatakan kita kan wayangnya, Tuhan yang mengatur dan menggerakkannya. Sebagai wayang tinggal menjalani apa-apa kehendak Dalang.
Tidak sinkronnya adalah ketika merasa cukup (bisa juga merasa puas, atau merasa benar) atas kondisi saat ini. Bisa pula kenyataan iman taqwa yang diyakini dan dirasakan sekarang. Kemudian mengata, saya adalah wayang, sak dermo menjalani skenario Sang Dalang atas keadaan ataupun iman taqwa yg saya jalani saat ini.
Mestinya, yang disadari adalah karena Sang Dalang-lah jiwa raga punya kekuatan tumbuh berkembang sehingga bisa bekerja.
Karena Sang Dalang-lah otak pikiran panggraitan bisa berjalan.
Karena Sang Dalang-lah jantung mampu memompa darah ke seluruh tubuh, dan paru-paru menggerakkan nafas.
Kemudian disadari pula bahwa bekal pinjaman kekuatan itu mesti difungsikan utk menyelami al Haq min Rabbika. Menyelam pada Kebenaran adalah milik Tuhan. Bagaikan menyelam di kedalaman samudera luas, sehingga yg nampak pandangan mata hanya air air dan air.
Demikian pula yg nampak di pandangan mata batin, hanya Tuhan Tuhan Tuhan. Bukan milik kita, bukan kekuatan kita, bukan kebisaan kita, hingga kita tidak ada. Atau menafilah kita.
Kekuatan kepunyaan kebisaan dari Sang Dalang difungsikan untuk menyelami ke kedalaman makna Laahaula walaquwwata. Bahwa tidak ada daya yg dimiliki hamba kecuali dari dan milik-Nya semata. Praktisnya adalah lerep sirep dan tidak adanya pengakuan dalam diri.
Jadi, endingnya, ketika mulut berucap saya adalah wayang yang sak dermo menjalani peran dari Sang Dalang, dibarengi dengan fisik akal nalar yg bekerja keras pantang menyerah. Dibarengi pula dengan batin (hati nurani) yang deple-deple pasrah nyandar pada Daya Kuat-NYA. Dalam hati merasai mengakui bahwa kawulo itu tidak bisa apa-apa, maka belajar untuk ajeg istikomah mengakui tidak bisa apa-apanya.
Karenanya, selalu butuh peran saran masukan sesamanya. Butuh tutur pengalaman hikmah sesamanya. Butuh bimbingan Wakil-Nya yang selalu mengada di muka bumi, menerangi jagad lahiriah maupun jagad batiniahnya.
Tanpa ada bimbingan Tuhan secara langsung, pastilah dada ini dikuasai nafsu yg selalu menggeliat. Sedangkan yang paling tahu persis (tahu pasti) apakah tindakan gerak lahiriah gerak batiniah kita ini katut siliring nafsu ataukah katut siliring qudrat, yg tahu pasti hanya Tuhan sendiri. Yaa…hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Karenanya, selalu pegangan erat Dawuh Guru : benar merasa benar, derajadnya disisi Tuhan lebih asor (lebih hina dina) daripada salah mau ngrumangsani salah.
Sebab merasa benar adalah menggasab (mengambil alih paksa) al haq min Rabbika.
Karenanya lebih asor dari salah mau merasai kesalahannya.
______23122018–kontemplasi ahad pahing dalam nderek nyengkuyung mbelo dan nyandar Guru (Romo Kyai Tanjung).
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.