PUSING UNAS?
Posted By Roni Djamaloeddin on March 25, 2011
Unas aja kok repot! Mungkin itu jawaban simpel seandainya judul di atas ditanyakan kepada alm. Gus Dur ketika masih hidup. Sebuah solusi yang seakan miskin penalaran, tapi kaya nilai filsafat.
Jawaban “sekenanya” tersebut tentu ada benarnya dan tidak benarnya. Di hadapan alm. Gus Dur mungkin saja benar. Sebab, unas adalah perkara kecil. Perkara dunia yang sejatinya tidak perlu direpotkan. Karenanya tidak perlu diambil pusing apalagi dibikin repot sendiri.
Namun, asumsi tersebut jelas bertolak belakang dengan pandangan khalayak luas. Khususnya siswa, guru, dan orang tua. Mayoritas mereka merasa repot dan was-was dibuatnya. Sehingga repot pula menyikapi dan menyiasatinya.
Masalahnya, mengapa unas bikin pusing semua pihak? Bukankah ia telah menjadi agenda rutin tiap akhir tahun?
Bukankah ia (salah satu) kewajiban para siswa tingkat akhir?
Pusing mikirin unas, sedikit banyak dapat dikurangi bila; pertama, berani melakukan eksplorasi logika. Mengajak otak keluar dari zona aman pikiran. Pikiran diajak keluar dari pola kerja kebiasaan. Menerapkan gaya berpikir lateral yang memunculkan ide, penemuan, pemecahan, dan pemikiran lain dari yang pernah ada.
Kedua, perlu pembiasaan berpikir positif (positif thinking). Istilah religinya, khusnudzdzon. Mengikis sedikit demi sedikit kebiasaan buruk sangka (suudzdzon), yang selama ini telah membudaya. Sebab, budaya negatif ini tanpa disadari telah mengakar kuat pikiran dan jiwa. Yang ending-nya, selain menambah dosa, hanyalah menguras energi.
Ketiga, perlu dibangun budaya focused solving. Pemetaan berikut penyelesaian masalah yang fokus obyeknya. Sebab, faktanya sering dijumpai praktek generalisasi yang keliru.
Misalnya, ketika ada siswa yang saking takutnya menghadapi unas lantas pilih “mematikan” diri daripada melakoni fobianya, maka dengan mudahnya men-cap pemerintah (kemendiknas) telah gagal. Ini jelas tidak fokus obyektif. Menandakan pola berpikir sempit bin picik yang sangat memprihatinkan.
Merujuk ketiga alasan tersebut, maka yang berkompeten pusing memikirkan unas seyogianya memperhatikan ketiganya dengan seksama. Agar, setidaknya, lakon tahunan ataupun tiga tahunan (bagi siswa) tidak lagi memusingkan.
Selanjutnya melakukan eksplorasi logika, positif thinking, dan focused solving. Memperkaya diri dengan pikiran-pikiran baru. Mempertajam analisis, sintesis, dan berpikir konstruktif.
Bagi siswa, perlu menyadari bahwa unas adalah sarana menguji pengetahuan, kemampuan, pemahaman, dan penguasaan materi pelajaran yang telah diterima selama tiga tahun. Yang berhak mengukur/menguji adalah orang lain (sekolah, dinas pendidikan). Tidak bisa mengukur dan menilai diri sendiri dengan beranggapan “aku layak lulus”.
Unas adalah salah satu tahapan dalam menempuh pendidikan. Masih ada tahapan-tahapan lain setara dengannya bila menempuh pendidikan pada jenjang lain. Resiko dalam setiap tahapan pasti ada : lulus-tidak lulus atau gagal-berhasil. Keduanya pasti ada. Tidak mungkin tidak.
Karenanya, di dalam belajar, selain belajar menguasai materi ajarnya, perlu menyiapkan mental atas segala resiko yang mungkin terjadi. Bila lulus atau berhasil, menyiapkan mental menuju jenjang berikutnya, terjun pada dunia kerja, atau menyiapkan aktifitas lain. Sebaliknya, bilamana terpaksa harus gagal, maka perlu penyiapan mental yang mantap dan tahan banting. (Hindari ambil jalan konyol bin bodoh dengan minum obat anti serangga dan sebangsanya. Sebab, selain menutup pintu taubat, sengsaranya kelak tak terhingga lamanya.) Sehingga, gagal ataupun berhasil, keduanya perlu persiapan mental yang baik.
Bagi guru, unas adalah salah satu proyek nasional meningkatkan mutu pendidikan. Yang berhak mengukur standar nasionalnya adalah kemendiknas pusat. Tidak layak bila guru ataupun sekolah mengukur dan menentukan sendiri standar nasional-nya. Karenanya, ia harus diterima dengan lapang dada. Dibantu kesuksesannya.
Selain itu, guru mempersiapkan peserta didik bisa menempuh unas dengan baik. Melengkapi berbagai teori, strategi, dan langkah cepat menggarap soalnya. Bila memungkinkan, menambah materi ajar satu-dua level di atasnya.
Selain mengajar materi ajar tertentu, mendidik berbagai macam norma, dan menransfer/menularkan berbagai pengalaman, guru perlu membekali dengan “pendidikan gagal”. Adalah memberi pemikiran, pemahaman, dan opsi-opsi ketika kegagalan itu benar-benar terjadi pada siswanya. Memberi pengarahan bahwa kegagalan adalah lumrah dalam kehidupan. Hampir semua orang pernah mengalaminya. Karenanya tidak perlu takut yang berlebihan. Hadapi dengan ikhlas. Sadari bahwa ia adalah garisnya Yang Maha Kuasa. Tak seorang pun sanggup menolaknya. Toh bagaimanapun gagalnya masalah duniawi, ia masih bisa diperbaiki. Kalau kegagalan akhirat? Jangan sampai!! Karena tidak akan pernah bisa memperbaikinya lagi.
Perlu mengingat pula, tugas guru adalah mendidik, melatih, mengarahkan, dan mengantar siswa menuju suksesnya masing-masing. Penentu sukses tidaknya adalah si siswa itu sendiri. Andai pelatih bola, penentu golnya adalah pemainnya. Karena itu perlu berlatih ikhlas menerima, apakah menang atau gagal, lulus atau tidak lulus. Ikhlas menerima keduanya.
Kemudian bagi orang tua, unas adalah salah satu “perjuangan berat” anak yang perlu dukungan moral. Karenanya perlu menguatkan mentalnya. Memberi sugesti bahwa ia adalah perkara biasa yang tak perlu ditakutkan. Ada perkara lain yang lebih besar sedang menanti.
Anggap saja momen unas sebagai bagian kecil pendidikan rekasa. Biarkan anak menyusuri jalan liku-terjalnya. Seandainya terpaksa gagal, ikhlaskanlah. Biar merasakan dan menanggung resiko atas perbuatan (belajar)-nya. Ngramesi ungkapan pepatah : tega larane, ora tega patine. Sebagaimana pendidikan rekasa yang pernah orang tua alami dari mbah-mbah dulu.
Lebih baik bila dibantu doa dan laku prihatin. Mohon pada Yang Kuasa memberi kemudahan pada anak dalam mengerjakan soal ujiannya. Dibarengi dengan rialat riyadoh dan mujahadah semampunya. Tentu akan memperbesar peluang si anak lulus unas. Sebab doa orang tua yang tulus telah terbukti keampuhannya.
Bilamana masing-masing pihak mencoba ketiga jurus di atas, tentu pusing mikirin unas sedikit banyak terobati. Tergantikan dengan nrimo dan lapang dada menjalani. Bahwa inilah bagian kecil kehidupan seorang anak manusia. Masing-masing menerima peran dan tanggung jawab sendiri-sendiri, yang tidak bisa dihindari dan dilimpahkan.
Pada akhirnya, bisa sedikit memahami joke-joke alm. Gus Dur yang begitu entengnya menanggapi masalah berat dengan ungkapan “gitu aja kok repot”, mungkin sekali ada benarnya. Wallaahu a’lam.
Comments
2 Responses to “PUSING UNAS?”
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.
amin…smoga apa yang di tuliskan di artikel ustad dapat kita terapkan dengan penuh ikhlas dan sabar……smoga nantinya dapat lulus dengan baik secara lahir maupun batin dan semoga kita semua mendapat pangestu dari GURU kita…AMIN.
[Reply]
Roni Djamaloeddin Reply:
April 11th, 2011 at 3:59 am
doa-ne lulus yoo panggah… terlebih akherate…
[Reply]