RISALAH QAIDAH SEMBILAN
Posted By Roni Djamaloeddin on July 27, 2024
Qaidah 1
“Sokongan dan bantuan dari lain orang, baru diterima jika tidak mengikat lahir ataupun batin dan capailah rasa jiwa “hurriyah tammah” (=jiwa yang merdeka sejati). Menggantungkan diri kepada lain orang dijauhi benar-benar, ingatlah Yadul ulya aula min yadissufla artinya: “Tangan yang diatas itu lebih mulya dari tangan yang dibawah”. Tegasnya memberi itu lebih mulya dari pada meminta.
Qaidah 2.
Pimpinan pendidikan yang ditakuti harus dijauhi, yakni sedapat mungkin jangan dijalankan, sedang pimpinan yang dicintai dibiasakan. Ingatlah: pengaruh pendidikan berdasarkan mahabbah (= kecintaan) itu lebih besar dan lebih mendalam dari pada pengaruh pendidikan yang pimpinannya ditakuti. Oleh karenanya maka: “Rasa kekeluargaan diperkokoh dan dipererat”.
Qaidah 3
Guna memperdalamkan bekas dan pengaruh tarbiyah (= pendidikan) serta mempererat rasa dan tali kekeluargaan (disamping mengadakan penyiaran Islam dengan bermacam-macam cara umpamanya mengadakan madrasah-madrasah dsb dimana pendidik dan pihak yang dididik atau guru dengan murid, hanya mempunyai kesempatan bergaul di kelas saja), harus dipentingkan dan diutamakan juga adanya tarbiyah cara pondok, dimana Kyai dengan santrinya atau guru dengan muridnya, siang dan malam dapat bergaul dengan rapatnya”.
Tarbiyah cara pondok ini sudah dibuktikan oleh pengalaman, bahwa ia itu adalah suatu cara pendidikan yang mendalam berpengaruh dan berjiwa, sehingga “Ro” (= pendidik) dan “Ro’yahnya” (= yang dididik) merupakan satu keluarga, yang perasaan rohaninya diliputi oleh mahabbah (= rasa kecintaan) yang besar yang menimbulkan rasa kekeluargaan yang suci.
Guna mempercepat langkah pelaksanaan cita-cita pendidikan, sebagai langkah penyiaran dan pengajaran Islam, harus juga dipentingkan adanya cara Madrasah dsb.
Kesimpulannya: adanya cara pondok itu guna memperdalamkan dan menjiwakan pengaruh dan bekas pendidikan dan kekeluargaan, sedang adanya madrasah itu guna mempercepatkan langkah dan jalan tersebarnya pengajaran. Dalam kedua-dua cara itu dasar aturan pendidikan cara pondok harus dijalankan umpamanya: hidup sederhana, memimpin diri pribadi (yakni: mengurus menolong dan memerintah diri sendiri) dengan mengindahkan tuntunan pemimpin, mengutamakan beramal untuk kepentingan umum dengan tidak melupakan hak diri, hemat, hidup praktis (yakni: tidak merasa sukar dimana saja), jangan mementingkan diri sendiri, tetapi juga jangan tidak tahu hak diri dsb.
Walhasil :
“Adakanlah madrasah !”
“Adakanlah pondok !”
“Gunakanlah dasar pendidikan cara pondok itu, baik dalam madrasah maupun dalam pondok”.
Qaidah 4
Kita harus berusaha sekuat-kuatnya dapat menjalankan amal atas niatan “Lii’lai kalimatillah” artinya menegakkan kalimat Allah semata-mata, berdasar Lillah artinya : karena Allah, dengan tak usah dan tak perlu kita melupakan soal keduniawian kita, karena pekerjaan yang didasarkan atas niatan yang luhur dan suci, berarti juga kemakmuran soal keduniawian, dan pada hakekatnya pekerjaan yang berdasarkan niatan yang demikian itu tentu menjamin kebahagiaan dunia akherat.
Dari itu:
“Pendidikan yang kita adakan, kita jalankan untuk Allah, menurut Allah, dijalan Allah, dan karena Allah. Setiap Ro (pendidik) mesti merasa kita bertanggung jawab terhadap diri pribadi, masyarakat dan yang terpenting terhadap Tuhan.
Qaidah lima.
Cara berbelanja sendiri zelfbedruipings system sedapat mungkin harus diadakan, agar dapat terlepas dari rasa menggantungkan diri kepada pertolongan lain orang. Tetapi bekerja dalam lapangan pendidikan yang suci (agama) dengan “faham buruh” harus dilemparkan jauh-jauh, agar karunia Allah terlimpah sebanyak-banyaknya, dan agar diri kita lambat laun dapat mencapai pengabdian yang sempurna. Menjadi :
Adakanlah cara berbelanja sendiri tetapi jagalah juga, jangan sampai cara itu dapat menyebabkan jauhnya apa yang kita kejar yaitu: mengabdi kepada Allah dengan pengabdian yang sejati murni.
Kerjakanlah hal itu, kebahagiaan dunia dan akherat terjamin sepenuhnya.
Qaidah 6. (Qaiah Perjanjian)
Barang-barang yang diserahkan oleh almarhum Kyai Hassan ‘Ulama dan ahli-ahli warisnya kepada Pesantren Takeran yang mulai tahun 1362 H diubah namanya menjadi PSM untuk dipergunakannya, kembali menjadi hak milik ahli waris almarhum itu, bilamana :
a. Pesantren bubar.
b. Barang-barang itu tidak dipergunakan lagi oleh Pesantren.
Barang-barang tersebut diterangkan satu persatu didalam daftar inventaris yang dipegang oleh yang mempunyai hak milik barang-barang itu dan dipegang oleh Pesantren.
Selain dari pada itu, ketentuan milik Pesantren sendiri diatur sebaik-baiknya agar dapat terpelindungi dengan secukupnya.
Kesimpulannya:
Aturlah ketentuan barang-barang hak milik Pesantren sendiri dan orang-orang yang mendermakan barang-barangnya kepada Pesantren, agar kehalalan milik dalam Pesantren terpelihara secukupnya.
Qaidah 7. (Qaidah perjanjian).
Perjanjian-perjanjian tersebut dalam Qaidah 6 itu berlaku juga buat lain-lain orang yang menyerahkan barang-barangnya kepada dan untuk Pesantren.
Tuntutlah (carilah) keridaan lain orang agar kita dapat juga keridaan Allah.
Qaidah 8.
Guna memelihara keluhuran dan kemurnian dasar jiwa Pesantren kita, janganlah kejadian segala peraturan Pesantren menyimpang dari qaidah-qaidah ini.
Qaidah 9.
Dengan sabar dan tawakkal, kita harus mencapai tingkat dan martabat rasa.
Pengorbanan yang kita berikan untuk mendidik diri pribadi dan masyarakat, harus kita berikan dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya hingga pemberian pengorbanan kita itu, tidak terasa lagi oleh kita karena orang yang ikhlas mengabdi dan berkorban untuk Allah dan karena Allah itu tentu tidak merasa lagi kalau ia berkorban dan berbakti tetapi kelahiran dan kebatinan (segala gerak dan geriknya) orang yang demikian itu dimana saja dan pada waktu apa saja tentu berfaedah dan bermanfaat kepada lain orang (masyarakat).
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.