HAKEKAT JALAN LURUS?
Posted By Roni Djamaloeddin on April 19, 2024
Thaha 14 menyurat : wa aqimishsholata lidzikrii. Dan dirikan sholat untuk mengingat-ingat Aku/Ingsun (Wujud Cahaya Tuhan).
Apakah ini sebuah jalan lurus?
Maka jawab pastinya : iyya, jalan lurus-Nya. Jelas nyata ayat-Nya.
Lalu, apakah saat mengerjakan sholat, otomatis berada di jalan lurus?
Belum tentu. Karena banyak aktifitas batin selain dzikir. Semisal mengingat arti bacaan sholat, mengingat tempat suci, teringat hutang pekerjaan dendam …dlsb.
Disamping itu, lidzikrii itu mesti ditanyakan/digurukan pada ahlinya. Sebab ayat menyatakan : fas-alu ahladzdzikri, inkuntum laata’lamuuna (bertanyalah/bergurulah pada ahli dzikir bila tidak tahu apa bagaimana dzikir itu).
Sebaliknya, ketika belum berguru ilmu dzikir pada ahli dzikir yang diturunkan dan dijaga sendirinya oleh Tuhan (inna nahnu nazzalna adz-dzikra wainna lahu lahafidzun), maka bisa dikatakan belum meniti jalan yang lurus.
Bila demikian, maka implikasinya, dzikirnya pada wilayah duga², kira², hanya prasangka. Akibatnya, wirid disangka dzikir. Membaca asmaul husna disangka telah berdzikir.
Terus, ketika sudah berguru (sudah punya) ilmu dzikir pada ahli dzikir yang selalu diupdate Tuhan, kemudian menjaga sholat Ada’ (sholat yang telah ditentukan waktu dan tata caranya) dan sholat Daimnya (https://ronijamal.com/apa-itu-sholat-daim/), apakah otomatis sudah berada di jalan shirothol mustakim?
Pengalaman berguru kami : belum tentu pula. Semisal, sholatnya masih diakui (dirumangsani) sebagai sholatnya. Dzikirnya diakui (dirumangsani) dzikirnya. Maka pada titik kritis lembut melangit disini, bisa dikatakan belum meniti jalan lurus. Sholatnya nyeblang (tergelincir) dari shirothol mustakim. Khusyuk belum ada didalam sholat. (https://ronijamal.com/sholat-khusyuk/)
Terus, darimana bagaimana bisa tahu kalau sedang meniti shirothol mustakim atau justru tergelincir dari jalannya?
Disitulah hakekat doa ihdinash-shirothol mustakim. Memohon ditunjukkan jalan yang lurus.
Namanya memohon mesti dibarengi pasrah bongkokan. Berserah sekaligus bergantung sepenuhnya pada yang dimohoni. Kontradiksinya, memohon tapi rumongso (merasa) ngerti, namanya tidak sungguh-sungguh dalam memohon.
Memohon mesti menanggalkan merasa bisanya. Menafikan merasa pahamnya, merasa seniornya, merasa berpengalamannya, merasa tuanya, ..dst-dsb.
Sebagai tolok ukurnya, adalah sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw. Beliau yang berderajad maksum, terbebas dari dosa dan kesalahan, sekaligus pangejawantahan shirothol mustakim itu sendiri, justru sangat khusyuk memohon pada Tuhan. Terbukti dengan kaki Beliau yang bengkak-bengkak saking berlama-lama menikmati sholat. (https://ronijamal.com/tunjukkan-jalan-yang-lurus/)
Nabi sangat² sadar menyadari bila al Haq min Rabbika. Al Haq adalah dari Tuhan milik Tuhan. Benar itu mengada disisi Tuhan. Karenanya, sangat sadar rumongso tidak bisa apa-apa. Yang bisa hanya laahaa walaa quwwata. Bahkan dalam risalah aguru-guru dijelaskan bila sehari semalam, Beliau lebih dari seratus kali taubat nangis mohon ampun maring Gusti.
___010424–belajar istikomah nderek nyandar Guru (Romo Kyai Tanjung).
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.