BAIK BENAR MESTI KAAFFATAN
Posted By Roni Djamaloeddin on March 19, 2025
Semua ajaran agama mesti bicara kebenaran dan kebaikan. Bisa ditangkap nalar rasional. Sejalan dengan arti istilah agama sendiri, yang tidak kacau atau tidak rusak.
Ribuan ajaran tersebut, yang orisinal mencakup empat dimensi sekaligus. Dimensi lahiriah (jasadiah), dimensi batiniah (hati), dimensi roh, dan dimensi rasa.
Dikatakan orisinal karena menetes langsung dari Sang Pemilik Agama. Turun langsung dari Yang Maha Kuasa. Bila pepatah Jawa ada istilah sabdo pandito ratu, maka ajaran orisinal adalah Sabda Sang Jagad.
Lalu, seperti apa bagaimana Sabda Sang Jagad itu, apa seperti petir menggelegar? Atau mirip suara terompet sangkakala? Atau tutur Imam Mahdi yang melayang dari langit? Atau seperti apa?
Jawabnya ada di balik fenomena inni ja’ilun fil ardhi Khalifah. (ronijamal.com/mengapa-mengutus-rasul/)
Sebaliknya, dikatakan tidak orisinal (mungkin belum) karena tidak menyeluruh. Hanya berdimensi lahiriah (kulit). Ajaran baik benarnya belum menembus hati. Juga belum menembus roh. Apalagi menembus rasa.
Contoh kasus sederhana, penggalangan donasi amal untuk membantu kurban bencana alam. Semua penganut agama, bahkan semua aliran golongan yang ada dalam agama, secara nalar rasional bisa menerima kebaikan kebenarannya.
Namun baik benar disini masih berdimensi lahiriah (kulit, syareat). Baik benarnya masih dihadapan sesama manusia. Belum tentu baik benarnya masuk dimensi hati, apalagi dimensi roh rasa.
Karenanya, agar baik benarnya kasus donasi amal tersebut (dari jutaan kasus yang ada), baik dan benar pula dihadapan Yang Maha Benar, maka mesti dibarengi (dimasukkan) dalam dimensi hati. Hati tidak boleh mengingat-ingat perbuatan baik benar yang telah diperbuat. Hati menafikan/melupakan jasa baik amalnya. Hati menjalani tugas pokok fungsinya : lidzikrillah (ingat Wujud Ingsun). Hati mesti belajar menuju hati yang selamat (qolbun salim). Menggapai hati yang Islam. (ronijamal.com/hati-yang-islam/)
Demikian pula agar baik benarnya donasi amal tersebut mampu menembus dimensi roh, maka rasa jiwa tidak boleh mengaku merasa bisa. Tidak boleh merasa kuat, merasa punya, merasa bahagia, merasa berjasa, merasa mulia, dan ratusan merasa-merasa lainnya. Rohnya disilemkan dalam kedalaman makna laahaula walaa quwwata. (ronijamal.com/olah-nalar-vs-olah-roh/)
Oleh karenanya, falsafah Jawa mengingatkan “bener belum tentu pener”. Artinya benar belum tentu tepat, tetapi jika melakukan hal yang tepat pasti benarnya mengikuti. (ronijamal.com/benar-di-dalam-benar/)
Jadi baik benarnya dalam ajaran agama, agar jedug (sampai) di hadapan Sang Pemilik Agama, maka lakunya mesti kaaffatan. Menyeluruh meliputi lahiriah (jasadiahnya), hatinya, rohnya, dan rasanya.
___080325–belajar istikomah tumakninah olah nalar olah roh nderek Guru (Romo Kyai Tanjung)
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.