OLAH NALAR vs OLAH ROH

Posted By on March 28, 2022

Olah nalar? Yaa, nalarnya yang diolah. Akal nalar yang biasanya kurang mendapat sentuhan khusus, perlu diolah diberdaya dipecah difungsimaksimalkan. Sehingga, ketika biasanya memecah mencerah problem hanya dengan satu dua cara saja, menjadi mampu mencerah mensolusi hingga banyak cara solusi sekaligus.

Atau ketika belum mampu menyibak rahasia sesuatu, dipecah diolah dicerah menjadi mampu menangkap menyelami nilai -nilai rasionalnya.
Contoh sederhana, pepatah yang mengatakan banyak jalan menuju Roma, adalah benar sekali. Rasional. Akal nalar sangat bisa menerima.

Namun bila dianalogikan menjadi banyak jalan menuju Tuhan, belum tentu rasional. Sebab Roma tidak akan pernah sama dengan Tuhan. Karenanya tidak bisa digebyah sama. Dan mesti ada ilmu khusus, laku khusus, serta guru spiritual khusus dalam menjangkaunya [https://ronijamal.com/guru-suci/].

Disitulah contoh kecil olah nalar. Materi lain yang bisa dijadikan sparing olah nalar, buanyak sekali. Semisal :

  • mengapa Tuhan mesti mengupdate para rasul, mengupdate kitab suci, sekaligus mengupdate agama untuk manusia?
  • mengapa mesti terjadi perpecahan dalam agama, dalam mahdzabnya, dalam ormas, organisasi keagamaan, …dst-dsb.

Akal nalar perlu diolah disparing agar bisa pecah cerah hingga mampu menangkap nilai-nilai rasionalnya. Sebab ketika tidak terbiasa diolah, akan sangat keberatan kesulitan bila diajak selancar menuju yang lebih jauh-tinggi-lembut-luas. Terlebih perihal olah roh.

Sebab akal nalar seolah tak berdaya dan tak bernyali ketika dihadapkan : “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”. Akal nalar seolah “mati suri”. Sehingga tak ada nyali untuk mencari ilmu di atas langit. Seperti ungkapan pepatah di atas langit masih ada langit. [https://ronijamal.com/di-atas-langit/]

Lantas, apa olah roh itu perlu?

Bagi yang belum pernah menyelami ilmu dzikir (ngalimul Ghaibi wasysyahadati, yaa ilmu rahasia HUWA Ahad) dan masih terjebak “mitos mustahil” membelajarinya, dengan sendirinya menyimpulkan tidak perlu. Merasa cukup aman nyaman dalam dogma warisan nenek moyang. Kadang membentengi diri dengan ungkapan kawulo itu seperti wayang yang tinggal menjalani kehendak sang dalang.

Namun bagi yang telah mempraktikkan perintah fas-alu ahladzdzikri, dengan mewujudnyatakan “yubayi’unaka” (melakukan baiat, Al Fath 10) pada yang hak dan sah menunjukkan, maka olah roh adalah kebutuhan mutlak. Semutlak tubuh membutuhkan nafas.

Sebab memahami menyadari sepenuhnya bahwa roh itu bukan unsur dasar/utama manusia. Sedang unsur dasar/utama manusia adalah rasa (sirr). Roh adalah Daya Kuat Tuhan yang ditiupkan pada jasad (saat berumur 120 hari dalam kandungan). Dipinjamkan pada fitrah manusianya (sirr, rasa) agar punya kekuatan menggarap menyelesaikan ujian kehidupan dunia. Di uji atas kesanggupan menerima amanah.

Karena merupakan pinjaman, maka logikanya, sesegera mungkin untuk dikembalikan. Dipakai sehari-hari, tapi sekaligus juga dikembalikan. Bukannya menunggu panggilan (mati). Istilah sepadannya, belajar menjalani perintah udhulu fissilmi kaaffatan [https://ronijamal.com/islam-kaaffah/].

Begitu halus lembut jeruu melangitnya, sebelum menuju olah roh (dimensi ketiga), terlebih dulu telah mampu ngambah dimensi dua, islamnya hati nurani [https://ronijamal.com/hati-yang-islam/].

Analogi sederhananya, ketika akan memproduk minyak goreng yang baik (pengalamannya mbah-mbah dulu), maka diperlukan santan yang baik pula (simbul hati yang telah Islam). Dari santan yang baik kemudian digodhog diaduk dibelai berjam-jam, dengan panas api yang khusus. Dilakukan dengan istikomah tumakninah. Sembrono sedikit saja, atau tidak sabar, atau grusa-grusu, akan merusak proses membuat minyak.

Disitulah aplikasi olah roh itu. Bermula dari posisi hati yang telah diislamkan, nafas yang keluar masuk isinya dzikir, dilandasi proses laku syareat yang baik, dibarengi etos kerja dan etos pikir yang tinggi professional dibidangnya, bahkan di atas rata-rata manusia. Namun rasa hati belajar tidak ngrumangsani bisanya (tidak merasai). Tidak merasai hak milik kepunyaannya. Tidak ngrumangsani ide cerdasnya. Tidak ngrumangsani segalanya.

Walau demikian, dataran syareat tetap lumrah wajar sebagaimana mestinya. Secara lahir berkata ini milikku barangku punyaku ideku, tapi dalam hati berkata bukan milikku. Tapi kagungane Gusti : wamahyaya wamamati lillahi rabbil ngalamin.

Dalam kalimat lain, olah roh itu olah perasaan untuk belajar tidak ngrumangsani. Nglakoni (menjalani) tapi tidak ngrumangsani. Nyemplung silem dalam kedalaman makna laahaula walaa kuwwata.

Ngolahnya, dengan cara nyandar Guru. Belajar sak dermo tandang, nderek perintah. Kemudian ketika akan ngaku, maka segera ditepis dituturi dimarahi, dengan tetap menyadari kawulo yang khothok wa nisyan, yang sedang berjuang jihadul akbar.

Dengan demikian simpulnya, olah nalar merupakan prasyarat mutlak menuju olah roh. Bila olah nalarnya terbangun dengan baik, maka ada kemungkinan olah rohnya juga terbangun. Yang pada saatnya, atas safaat rasulullah dimampukan mengislamkan rohnya [https://ronijamal.com/martabat-roh/]

Namun bila nalarnya sempit, cupet, jumud kaku beku, maka seakan hil yang mustahal dalam proses olah roh.

_____230322–belajar share pemahaman pengalaman dalam nderek Guru (Romo Kyai Tanjung).

.

About the author

Seorang Dosen Di STT POMOSDA, Guru Matematika SMA POMOSDA (1995 – sekarang), dan Guru "Thinking Skill" SMP POMOSDA yang mempunyai hobi Belajar-Mengajar Berpikir, Mencerahkan Pemikiran

Comments

Leave a Reply

Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.