BANGGA BERAGAMA?
Posted By Roni Djamaloeddin on January 18, 2025
Tanpa pernah disadari, kita punya bangga atas nama agama. Bangga menganut agama yang diyakini sejak kecil. Bangga atas mahdzab/golongan/aliran yang ditekuni. Bangga atas ormas oris orprof yang dianggotai. Bangga tanpa tendensi apapun, baik yang skala minoritos, mayoritas, atau bahkan hanya beberapa gelintir saja.
Mengapa? Jawabnya sederhana : faktor alamiah pikiran penalaran manusia.
Lantas, bagaimana dengan beragama yang sejatinya, perlu/bolehkah ada bangga?
Secara bahasa, agama berasal dari akronim bahasa sansekerta, a = tidak, gama = kacau/rusak. Selanjutnya dinarasikan sebagai petunjuk aturan (dari Tuhan) yang menuntun mengarahkan manusia tidak rusak.
Secara pengalaman belajar (prosesi fas-alu ahladzdzikri), agama adalah petunjuk dari langit yang digelar Rasul/Khalifah-Nya untuk semua manusia bumi. (Selengkapnya dapat disimak pada web ronijamal.com/sesungguhnya-agama-itu-untuk-apa/)
Didalam prosesinya dijelaskan bila aturan tidak rusak itu mencakup empat dimensi sekaligus.
1) dimensi lahiriah/jasadiah, yang mampu dirasional oleh akal nalar dan terorganisir dalam aturan syareat.
2) dimensi hati/batiniah, terwadahi dalam ilmu hakekat, yang dalam Quran disebut ilmu Dzikir.
3) dimensi roh/ruhyah, sisi dalam sangat lembut ilmu hakekat.
4) dimensi rasa/sirr, yang adalah fitrah (unsur dasar) manusia, yang mengantar manunggal (rojiun, menyatu) lagi seperti ketika masih di alam arwah (alam dzar, alam fitrah).
Sepaket aturan tersebut, termaktub dalam perintah : udkhulu fissilmi kaaffatan.
(ronijamal.com/islam-kaaffah/)
Sehingga karenanya, beragama dalam pengalaman belajar (berguru) pada ahli dzikir, jauh beda dengan pengalaman belajar (berguru) pada selain ahli dzikir. Semisal berguru pada ahli syareat, ahli kitab, ahli tafsir, ahli hadits, maupun ahli-ahli lainnya.
Seperti jauh bedanya antara pengalaman belajar pada ahli bom atom (energi nuklir) dan ahli kacang atom.
Sebagai analogi praktisnya, pengalaman beragama mereka yang telah ratusan kali ibadah di tanah suci, tidak ada hubungan logis sama sekali dengan pengalaman beragama mereka yang fissilmi kaaffatan.
Oleh karena demikian, adanya unsur rasa bangga dalam beragama (maupun bangga pada jutaan varian didalamnya) menandakan bila beragamanya belum sampai ranah hati. Alias hatinya belum diagamakan. Hatinya masih dalam posisi gama (kacau/rusak).
Sebab bila hati telah berproses (diproses) dalam beragama, maka akan berjalan berproses sesuai tugas pokok fungsinya. Diposes dengan jihadulakbar menuju hati yang selamat. (ronijamal.com/hati-yang-islam/)
Namun demikian, endingnya, baik yang berproses ataupun tidak dalam beragamanya, ujung-ujungnya kembali pada kesungguhan masing-masing.
Mau berbangga atas nama agama, silakan.
Mau ngempet susah prihatin di dalam agama, silakan.
Sebagaimana pilihan mahabebas yang diberikan Tuhan dalam al Kahfi 29:
“Barangsiapa ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa ingin kafir, kafirlah”.
_____040125–belajar share pemahaman dan penalaran dalam nderek Guru (Romo Kyai Tanjung)
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.