SYAREAT vs TASAWUF
Posted By Roni Djamaloeddin on January 5, 2023
Beragam persepsi para ahli syareat terhadap pelaku tasawuf. Ada yang memprasangka tasawuf itu sesat. Tasawuf itu menyimpang dari Islam. Tasawuf itu tidak diajarkan Nabi Saw. Tasawuf itu tidak termaktub dalam Quran Hadits, …dst-dsb.
Persepsi miring demikian lumrah sekali. Sebab memang belum mengerti. Belum pernah mendengar langsung apa itu tasawuf dari ahlinya. Juga belum pernah menyelami dan memecah merasional ada apa dengan tasawuf. Atau mungkin belum “gaduk” (belum sampai) akal nalarnya. Seperti anak balita yang sukanya permen, dikasih kertas merah gambar sang proklamator, yang kemudian dibuang sia-sia.
Namun ada juga yang mempersepsi tasawuf itu “ngelmu tuwo” (ilmu tua). Ilmu kewalian, ilmunya mbah-mbah dulu. Karenanya banyak kawula muda sekarang yang tidak kuat menjalaninya.
Sementara pandangan praktisi tasawuf, diprasangka yang demikian ragam tidak heran tidak gumun. Justru dijadikan latihan sabar nglenggono lapang dada. Dijadikan sarana prihatin dan introspeksi diri, bila suatu ilmu itu belum diselami dibelajari, maka yang terjadi adalah duga kira prasangka.
Karenanya, sambil mencermati mencocokkan fakta sejarah yang ada, maka hipotesisnya, pro kontra antara syareat vs tasawuf tidak akan pernah berhenti. Akan selalu diabadikan oleh anak-anak zamannya. Namun ia akan usai dengan sendirinya bila nafas telah lepas dari raganya.
Sementara dari berbagai literasi, istilah tasawuf itu sendiri muncul jauh pasca kerasulan Nabi Saw. Faktanya tidak tersurat dalam Quran maupun hadits. Definisinya pun, dari berbagai laman maupun tokoh yang ada, juga sangat beragam. Sehingga tidak aneh bila dianggap menyimpang dari ajaran Nabi.
Namun bila menyelami roh-nya tasawuf, ilmu yang diajarkan dalam tasawuf adalah ilmu yang digelar Nabi Saw. Disampaikan secara silent, secara diam-diam, karena memang banyak yang tidak bisa menerima adanya ilmu tersebut.
“Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dua bejana ilmu. Untuk satu bejana sudah saya sampaikan kepada kalian. Untuk bejana yang kedua, andai saya sampaikan kepada kalian maka kepalaku akan dipenggal” (HR. Bukhari 120).
Bahkan para nabi rasul, para wali semuanya, mengajarkan ilmu batin (ilmu makrifat) yang sama. Istilahnya disebut dengan ilmu hakekat. Dalam Quran diistilahkan ilmu dzikir. Ilmu tauhid. Hingga secara khusus Nabi Saw memerintahkan : ‘alaikum bisunnati…
(https://ronijamal.com/bisunnatii/)
Zaman kewalian, istilah tasawuf dipopulerkan dengan istilah ilmu sangkan paraning dumadi. Ilmunya Satriyo Piningit. Ilmunya Ratu Adil. Ilmu yang menunjukkan galihe kangkung. Ilmu rahasia lumayange kuntul tumebo, …dst-dsb.
Menyelami merasuki ilmu tasawuf, yaa ilmu dzikir, adalah dalam rangka menjalani perintah : udhulu fissilmi kaaffatan. Masuk Islam secara kaaffah. (https://ronijamal.com/islam-kaaffah/).
Dengan demikian simpulnya :
Pertama, syareat dan tasawuf bagaikan selembar daun sirih. Beda penampakannya tapi bila digigit sama rasanya.
Kedua, syareat dan tasawuf berjalan bersama, tidak terpisahkan. Syareat mengatur perkara lahiriah, tasawuf mengatur perkara batiniah. Sebagaimana ungkapan kalimat bijak : syareat tanpa hakekat kosong, hakekat tanpa syareat batal.
Ketiga, memilih menjalani salah satunya (misal: syareat saja) atau keduanya adalah pilihan masing-masing. Sebagaimana ketentuan : tidak ada paksaan dalam beragama, juga ayat lakum dinukum. (https://ronijamal.com/lakum-dinukum/).
Keempat, segala resiko ataupun hikmah manfaat atas pilihan keduanya, ditanggung dan dirasakan masing-masing. Tidak bisa dilimpahkan pada orang lain yang memberi informasi, mengajari, atau bahkan yang dipatuhi ditawaduki.
Kelima, memfungsimaksimalkan akal nalar adalah keniscayaan. Sebab wujud al-mizan adalah akal nalar itu sendiri. Tanpa dilatih berpikir keras kandas tuntas, yang mesti akan terjajah terkungkung terkuasai nafsu. Maka mesti menyirnakan praktik anut grubyuk (ikut sana ikut sini tanpa pemikiran pasti mendalam).
Keenam, mereka yang terjebak dualisme antara syareat dan tasawuf, perlu dibantu dicerahkan. Tentunya dengan mengedepankan sisi rasionalnya, dibarengi sabar dan tawakkal.
Ketujuh, saatnya memecah mencerah memerdekakan akal nalar. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Apa menunggu nafas sampai di tenggorokan?
___271222–belajar istikomah nderek Guru (Romo Kyai Tanjung).
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.