BISAKAH DZIKIR BERKALANG KEMARAHAN?
Posted By Roni Djamaloeddin on October 14, 2022
Bisa tidaknya dzikir saat dikalangi kemarahan, sangat tergantung beberapa faktor.
Pertama, faktor dzikirnya. Kebanyakan orang mempersepsi dzikir itu menyebut Asma (Asmaul Husna). Dan biasanya dilakukan dengan duduk bersila membaca sekian ribu kali. Padahal, bila telah menjalani fas-alu ahladzdzikkri (al Anbiya’ 7), yang praktiknya dengan yubayi’unaka (al Fath 10), bacaan itu belum disebut dzikir. Tapi masih dikatakan wirid. Sehingga ketika masih berstatus wirid, saat saudara kanan kiri depan belakang mengalangi dengan kemarahan, maka sangat² mungkin terganggu fokus wiridnya.
Sedangkan dzikir, dalam pengalaman fas-alu tersebut, adalah ingatnya hati pada Dzat (Wujud) Pemilik Asmaul Husna. Dzat yang memperkenalkan diri “Innani Ana Allah laa ilaaha illaa Ana fa’budnii” (sesungguhnya AKU adalah Allah, tiada sembahan selain AKU, maka sembahlah AKU).
Oleh karenanya, dzikir itu sendiri apa bagaimana, baru bisa diketahui setelah menjalani perintah : fas-alu ahladzdzikri inkuntum laata’lamuna. Bertanya/bergurulah pada ahli dzikir bila tidak tahu apa bagaimana dzikir itu. Dan ia tidak bisa dikatakan secara lisan, sebab wilayah hati nurani (kalau bacaan wirid bisa dilisankan).
Luar biasanya, dzikir bisa dilakukan sambil aktifitas apapun, bersamaan masuk keluarnya nafas. Sedang ibadah, sedang kerja keras, sedang makan minum rokokan, sedang bab, sedang mendengar omelan indah, bahkan dicontohkan nabi sedang tidur pun bisa berdzikir.
Oleh karenanya, saat dzikir dikalangi kemarahan, dimungkinkan konsentrasi dzikirnya tidak terganggu. Sebab hatinya telah berilmu. Hatinya ngambah (maqam, bertempat) pada tarekat. Seperti kereta yang berjalan pada relnya, yang tentunya telah dibelajari secara teori dan praktik khusus untuk menjadi cerdas.
Kedua, faktor penyampai (gurunya). Faktor ini sangat menentukan bermanfa’at tidaknya ilmu dzikir yang diselami. Sebab faktanya, banyak yang merasa berhak menyampaikan ilmu dzikir. Merasa keturunan langsung (nasab) dari nabi. Juga merasa bersanad langsung dari Nabi Saw.
Merasa berhak atau rumongso inilah yang disebut tidak ikhlas, tidak bersih, tidak katut siliring qudrat. Juga pertanda bila si penyampai tidak berada dalam jalur hak dan sah.
Sebagai akibatnya, ilmu dzikir yang disampaikan juga tidak manfaat. Maka ketika dikalangi saudara kanan kiri yang diliputi kemarahan, konsentrasi dzikirnya bisa terganggu, bahkan mungkin hilang.
Namun sebaliknya, bila penyampai (gurunya) berada pada jalur yang lurus hak dan sah, maka menyampaikannya otomatis katut siliring qudrat. Ikhlas bersih sak dermo nderek gurunya. Tidak berani ngaku sama sekali tandangnya. Tidak berani ngaku sebagai guru. Gelemnya (maunya) menyampaikan karena sangat takut pada perintah gurunya. Takut kesiku (kuwalat, karma buruk) akibat menyembrono perintah gurunya. (https://ronijamal.com/guru-suci/)
Sebagai implikasinya, ilmu dzikir yang diperoleh dari guru yang demikian, besar kemungkinan ilmunya menjadi manfaat. Sehingga bila digruduk (diserbu) saudara kanan kiri yang diliputi kemarahan, konsentrasi dzikirnya dimungkinkan sangat terjaga. Hati nuraninya telah cerdas dalam dzikrullah. (https://ronijamal.com/ilmu-yang-bermanfaat/)
Ketiga, faktor manusianya. Walaupun telah mendapat ilmu dzikir dari yang hak dan sah menyampaikan, namun bila sembrono mengamalkannya, gemampang, tidak belajar super serius mengajegkan dzikirnya, tidak berperang (jihadulakbar) melawan nafsunya, maka dimungkinkan dzikirnya bisa lupa/hilang saat digruduk (diserbu) saudara kanan kiri yang diliputi kemarahan.
(https://ronijamal.com/mengubah-takdir-atau-nasib/)
Sebab disitulah makna praktis Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri. Tuhan tidak akan memaqamkan dzikir pada hati hamba-Nya, bila si hamba sembrono gemampang dan tidak menjaga istiqomahnya hati dalam dzikirnya.
Bisa diibarat mahasiswa kedokteran, yang masuknya saja sangat sulit, berat, dan butuh dana besar. Namun bila tidak sungguh-sungguh dan sangat serius mengikuti perkuliahannya, maka dimungkinkan tidak bisa menjadi dokter. Bahkan bisa mungkin di-DO dari kampusnya.
Keempat, faktor syafaat. Adalah restu pangestu dari yang memberi ilmu dzikir. Faktor ini sangat menentukan turunnya rahmat dan hidayah Tuhan. Hidayah yang berakibat ilmu dzikirnya mampu merasuk jiwa, hingga merasuk roh. Akibatnya, serbuan kemarahan saudara kanan kiri, tidak mengganggu konsentrasi dzikirnya. (https://ronijamal.com/apa-bagaimana-syafaat-itu/)
Jadi simpulnya, bisa dzikir atau tidak saat anak istri marah, yang bisa merasa adalah diri sendiri. Hanyut menikmati dzikir atau katut terbawa hawa amarah, yang mampu merasakan adalah rasanya sendiri. Sumonggo dinikmati : bagimu rasamu, bagiku rasaku. Andum slamet.
_____111022–belajar share olah nalar olah roh dalam nderek Guru (Romo Kyai Tanjung).
.
Comments
Leave a Reply
Ket: Komentar anda akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil di blog ini.